Tidak banyak yang kaget ketika sejumlah harian Ibukota memberitakan kasus penipuan berkedok investasi yang memperdayai para pejabat tinggi negeri ini. Nama-nama besar di Senayan seperti Ketua DPR RI Agung Laksono, Ketua Fraksi Partai Golkar Andi Mattalata, Ketua Komisi I DPR RI Theo L Sambuaga, dan Ketua Panitia Anggaran DPR RI Emir Moeis tertipu oleh PT Wahana Bersama Globalindo (WBG), agen produk investasi yang diterbitkan Dressel Investment Ltd, perusahaan yang bermarkas di British Virgin Island, Karibia.
Di luar jajaran legislatif, tersiar nama Mennegpora Adhayaksa Dault dan sejumlah nama kondang seperti pengacara OC Kaligis dan artis senior Sandy Harun. Ada juga CEO perusahaan dengan aset di atas Rp 5 triliun yang juga tertipu.
Terungkapnya kasus penipuan berkedok investasi di Tanah Air menguak pula sebuah realitas yang selama ini masih samar-samar bahwa para anggota dewan memiliki banyak uang. Mereka tidak kalah kaya dibanding para profesional papan atas, bahkan dengan para pengusaha sekalipun. Duit Agung Laksono yang amblas digasak WBG mencapai Rp 10 miliar.
Masih banyak lagi pejabat, pusat hingga daerah, tokoh, bahkan profesional yang tertipu oleh bujuk rayu perusahaan berkedok investasi. Mereka enggan membuat gugatan karena takut ketahuan tidak cerdas berinvestasi.
Sudah begitu banyak kasus penipuan berkedok investasi yang 'merampok' uang masyarakat. Yang masih hangat saat ini adalah kasus penipuan SPI dan WBG. Dana masyarakat yang diraup SPI dari dalam negeri lebih dari Rp 2 triliun. Sejumlah sumber menyebut angka Rp 8 triliun dan pemilik perusahaan, Leo Sinaga telah hilang bak ditelan bumi. Sedangkan dana yang dimobilisasi WBG sejak 1997 di atas Rp 5 triliun, dan sedikitnya Rp 3,5 triliun tak bisa dikembalikan kepada nasabah.
Tahun lalu, lebih dari 5.000 nasabah tertipu oleh aktivitas PT Interbanking Business (Ibist.). Sebelumnya ada beberapa kasus sempat mencuat, seperti PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), PT Add Farm, dan PT Probest.
Setidaknya ada empat alasan utama yang membuat nasabah gelap mata dan menubruk produk yang ditawarkan. Pertama, bunga yang ditawarkan perusahaan berkedok investasi sangat tinggi, sekitar 3%-5% per bulan. Bandingkan dengan bungan simpanan di bank yang hanya sekitar 0,5% setahun.
Kedua, tenaga pemasar perusahaan ilegal itu sangat piawai dalam menawarkan produk. Selain pandai, mereka juga berpenampilan menarik dan menggunakan trik-trik yang memikat. Nama orang terkenal yang sudah menjadi anggota selalu digunakan untuk menjebak mangsa baru. Ada juga nasabah yang terjebak karena tenaga pemasar adalah anggota keluarga atau masih terhitung keluarga.
Ketiga, minimnya pengetahuan nasabah tentang investasi. Mereka tidak menyadari bahwa pertimbangan utama dalam investasi bukanlah keuntungan, melainkan keamanan. Berapa pun besarnya keuntungan yang dijanjikan, bila tidak aman, tak ada gunanya. Bukan hanya janji bunga yang tidak diterima, pokok pun akan bablas. Urutan kedua setelah aman adalah likuiditas. Dalam investasi yang benar, pemodal bisa masuk dan keluar dengan cepat.
Keempat, pemilik dana acap tidak sabar. Ketika mendengar penjelasan tentang investasi baru dengan keuntungan yang menggiurkan, pemilik dana tak bisa membendung hasrat untuk meraup keuntungan.
Kita tak perlu heran bila aksi para penipu mampu memperdaya pejabat tinggi dan para profesional yang memegang jabatan puncak di perusahaan. Mereka tidak paham seluk-beluk investasi. Bahwa dalam investasi tidak ada keuntungan yang datang dengan amat mudah tanpa jerih payah. 'No pain, no gain'. Bahwa dalam investasi, semua keuntungan dan kerugian bisa dijelaskan dari sisi fundamental dan teknikal. Bahwa high return berbanding lurus dengan high risk.
Dalam investasi, risiko dikelola menjadi minimal, sedangkan dalam judi, risiko justru dimaksimalkan agar terjadi zero sum game. Para nasabah boleh gigit jari karena dananya habis terkuras, sedangkan pemilik perusahaan berkedok investasi berpesta pora.
Alangkah ironisnya. Para pemilik dana, terutama yang tergolong cerdik pandai seperti anggota dewan dan CEO, begitu mudahnya tertipu saat pasar modal Indonesia memperlihatkan kinerja terbaik. Keuntungan dari investasi di pasar modal cukup besar. Tahun lalu, indeks harga saham gabungan (IHSG) melesat 55%. Puluhan saham mencatat kenaikan di atas 40%. Reksa dana saham memberikan gain di atas 25% setahun. Keuntungan obligasi di atas 15%. Meski tidak sebesar 2006, instrumen di pasar modal tahun ini masih memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dari deposito.
Pemilik dana bisa menggunakan jasa perusahaan sekuritas dan manajer investasi yang mengantungi izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk memilih instrumen investasi yang sesuai.
Banyak orang mampu mengumpulkan uang, tapi tidak cukup cerdas mengamankan dan menggandakan kekayaan lewat investasi yang benar.
Investasi dalam reksa dana saat ini sedang anjlok, walaupun dalam beberapa tahun terakhir sedang naik daun.
BalasHapusJadi kita harus cerdas dalam memilih investasi, karena jika salah, kita dapat kehilangan seluruh uang yang sudah kita kumpulkan dengan susah payah...