Pada fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi, bank berperan sebagai penghubung antara surplus unit dengan deficit unit dalam sebuah perekonomian. Dalam memainkan fungsi ini, terdapat perbedaan mendasar antara konsep bank konvensional dan bank syariah, sehingga kita perlu memahami secara benar landasan filosofis bank syariah, yang membedakannya secara prinsipil dengan bank konvensional. Banyak kritik yang dialamatkan kepada bank syariah, yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional dalam praktiknya. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bertransaksi dengan bank syariah cenderung "lebih mahal" bila dibandingkan dengan bank konvensional. Boleh jadi, munculnya opini semacam itu akibat kesenjangan informasi yang diterima oleh masyarakat. Untuk itu, perlu diperjelas lagi prinsip dasar dalam praktik bank syariah.
Sesungguhnya, bank syariah adalah bank yang beroperasi atas dasar prinsip "risk-profit sharing". Prinsip ini selaras dengan klausul syariah yang menyatakan bahwa, "laa ribha liman laa kasba" (tidak ada keuntungan tanpa risiko). Artinya, profit dan risiko memiliki grafik yang berbanding lurus. Menurut Irfan Syauqi Beik (Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB), semakin besar risiko, akan semakin besar pula tingkat keuntungan (kerugian) yang akan didapat. Sehingga, bank syariah akan cenderung "lebih berisiko" jika dibandingkan dengan bank konvensional, yang cenderung "lebih pemalas." Bagi bank konvensional, yang terpenting adalah mendapatkan keuntungan dari selisih antara persentase bunga yang dibebankan pada pengusaha/investor dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah.
Sebagai manifestasi dari prinsip ini, maka pola pembiayaan pada bank syariah haruslah didominasi oleh pola mudarabah dan musyarakah, bukan oleh pola murabahah yang saat ini masih menjadi primadona. Murabahah merupakan fixed return mode yang mirip (meskipun tidak sama) dengan konsep bunga pada bank konvensional. Seharusnya murabahah adalah skema pembiayaan yang menjadi pelengkap skema mudarabah dan musyarakah, dan bertugas untuk meng-cover apa yang tidak bisa dijangkau oleh mudarabah dan musyarakah.
Masih menurut Irfan, kehadiran bank syariah seharusnya memberikan dampak yang luar biasa terhadap sektor riil. Hal ini dikarenakan pola mudarabah dan musyarakah adalah pola investasi langsung pada sektor riil. Return pada sektor keuangan (bagi hasil), dalam prinsip ajaran Islam sangat ditentukan oleh sektor riil. Berbeda dengan konsep konvensional, di mana return pada sektor riil ditentukan oleh sektor keuangan.
Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, mengatakan, hingga saat ini, wujud dukungan perbankan syariah terhadap sektor riil di Indonesia sangatlah nyata, terutama untuk sektor usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) yang porsi pembiayaannya di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 90 persen.
Investasi inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh bangsa kita, agar angka pengangguran dan tingkat kemiskinan dapat direduksi. Oleh karena itu, BI harus mendorong regulasi yang menunjang iklim investasi berbasiskan skema mudarabah dan musyarakah, sekaligus mengantisipasi kemungkinan terjadinya kredit macet. Hal ini disebabkan oleh besarnya risiko yang akan dihadapi oleh pihak bank syariah.
Meski demikian, kemungkinan terjadinya kredit fiktif yang selama ini kerap terjadi pada bank konvensional, dapat diminimalisir. Ini dikarenakan persyaratan ketat yang diatur oleh syariat Islam pada pelaksanaan kedua skema pembiayaan tersebut, di mana keduanya bukan semata-mata paper-based financing, melainkan asset and production based financing dengan kejujuran, transparansi, dan keterbukaan sebagai landasan pokoknya. Dan ini diperkuat pula oleh peran depositor di dalam mengontrol jalannya bank syariah, karena dalam konsep bank syariah, mereka dianggap dan diperlakukan sebagai bagian dari pemilik bank.
Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar