'Google' adalah sebuah istilah matematika untuk angka 1 yang diikuti oleh 100 angka nol. Hal tersebut mungkin menyimbolkan besarnya ambisi Google dan meningkatnya dampak yang ditimbulkan oleh pasar yang dinamis dan pemasaran.
Pada tahun 1995, Larry Page dan Sergey Brin menciptakan sesuatu di kamar tidur mereka di Universitas Stanford. Sesuatu yang dalam kurun waktu lima tahun sudah dapat berurusan dengan 100 macam pencarian di internet setiap hari, dan mereka menjadi miliarder dalam waktu kurang dari satu dekade.
Google memiliki visi yang sederhana, untuk menjadi 'mesin pencari yang sempurna' atau, seperti yang dikatakan oleh Page, "Sesuatu yang mengerti apa yang Anda inginkan, dan memberikan informasi sesuai dengan yang Anda harapkan." Kini, dengan memiliki lebih dari 80 juta pemakai, yang melakukan pencarian di antara lebih dari delapan triliun situs, Google menjadi lebih mapan, dan menjadi leader di dunia search engine.
Tentu saja, hampir semua 'pemasaran' saat ini mulai dengan "sebuah Google": buku-buku teks tidak mengikutsertakannya dalam teori mereka tentang alur komunikasi, dan beberapa agensi iklan berani mengakuinya, tetapi hal tersebut benar-benar mewakili kendali atas konsumen, transaksi yang dipicu oleh pelanggan itu sendiri, dan kekuatan yang kini beralih ke pihak pelanggan di dunia yang kompleks saat ini.
Kesadaran akan sebuah merek dicapai dengan cara melalui mulut ke mulut dan dampak menyebar seperti virus melalui click-click yang dilakukan antara situs yang satu ke situs yang lain, revenue pun dapat diperoleh dengan cara menggunakan para pengiklan untuk menarget pengguna-pengguna online melalui cara-cara yang efisien dan canggih.
Google berargumentasi bahwa hal ini membuat periklanan menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik pihak pelanggan maupun pihak pengiklan yang memasang iklan tersebut. Mereka percaya para pelanggan harus tahu dan melihat iklan tersebut apabila pengiklan sudah membayar mahal untuk memasang iklan di depan mata para pelanggan. Jadi, mereka mencari cara untuk membedakan iklan agar terlihat menonjol di antara hasil-hasil pencarian yang muncul dari halaman situs-situs lainnya. Tentu saja, Google tidak menjual penempatan konten-konten pada hasil pencarian sendiri, ataupun mengizinkan orang membayar lebih agar mendapatkan ranking lebih tinggi di sana.
Ribuan pengiklan menggunakan Google AdWords untuk mempromosikan produk dan jasa mereka lewat internet dengan target yang spesifik, dan merupakan program yang terbesar. Sebagai tambahan, ribuan manajer website mengambil keuntungan dari program Google AdSense untuk beriklan dengan konten yang relevan dengan situs mereka. Hal tersebut juga mengembangkan kemampuan mereka untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan pengalaman pelanggan mereka.
The basic ranking system (sistem peringkat dasar) adalah sebuah model dari demokrasi pelanggan--peringkat pencarian menentukan seberapa populer situs-situs yang ada, yang dibantu juga dengan situs-situs lain yang saling terhubung satu sama lain dan mendukung sistem jaringan yang lebih terbuka.
Google tetap kuat bertahan di dunia yang kompleks dengan berpegang pada filosofinya yang dibangun menurut "sepuluh prinsip". Sementara kepercayaan diri mereka telah banyak mengalami tantangan--tidak hanya di pasar yang banyak mengalami gangguan, tetapi juga seperti contoh pada waktu 2004 Nasdaq flotation, ketika Google memaksa para investor supaya tidak memperlakukan mereka seperti perusahaan normal pada umumnya--keyakinan mereka merupakan pedoman kokoh yang memungkinkan mereka tetap fleksibel sembari tetap menuju ke arah yang benar.
Sepuluh Prinsip
1. Tetap fokus kepada konsumen, dan yang lainnya akan mengikuti. Sementara perusahaan lain mengakui bahwa mereka menempatkan konsumen pada urutan pertama, hanya sedikit dari mereka yang mampu menahan godaan membuat pengorbanan kecil untuk meningkatkan nilai saham perusahaan.
2. Lebih baik melakukan satu hal dengan sebaik-baiknya. Google hanya melakukan pencarian (search). Google tidak melakukan horoskop, nasihat keuangan, atau chatting. semua staf yang ada seluruhnya didedikasikan untuk menciptakan search engine atau mesin pencari yang sempurna.
3. Cepat lebih baik daripada lambat. Google percaya pada kepuasan yang instan. Anda membutuhkan jawaban atau informasi, dan Anda membutuhkannya sekarang juga. Tidak diragukan lagi.
4. Demokrasi bekerja di internet. Google berhasil bekerja karena ia bergantung pada jutaan situs-situs individual yang di-posting untuk menentukan situs-situs mana yang menawarkan konten yang bermutu ...
5. Anda tidak perlu harus berada di meja Anda sendiri apabila sedang memerlukan jawaban. Dunia ini menjadi semakin mobile dan tidak zamannya lagi terikat di satu tempat saja ... Melalui PDA, mobile phones, atau di dalam mobil mereka.
6. Anda dapat menghasilkan uang tanpa harus berbuat jahat. Google adalah sebuah bisnis. Pendapatan dan keuntungan mereka didapat dengan menawarkan teknologi pencarian (search) mereka ke perusahaan-perusahaan dan dari pemasangan iklan-iklan ...
7. Akan selalu ada informasi lebih di luar sana. Setelah kita mencari lebih banyak halaman situs dari fasilitas pencarian yang lain, kita memfokuskan diri pada informasi yang tidak tersedia secara langsung, seperti gambar-gambar atau file-file PDF.
8. Kebutuhan akan informasi telah melewati semua batasan yang ada. Google telah memfasilitasi akses untuk informasi ke seluruh dunia ... Interface-nya dapat dikustomisasi menjadi kira-kira sebanyak 100 macam bahasa.
9. Anda dapat menjadi serius tanpa pakaian formal. Pendiri-pendiri kami ingin menciptakan perusahaan yang tidak terlalu serius pada hal-hal lain, kecuali pada pencarian (search) ... Pekerjaan haruslah menantang, dan pekerjaan juga haruslah menyenangkan.
10. Great, tidaklah cukup baik. Selalu harus memberi lebih dari yang diharapkan. Melalui inovasi, kita mengambil sesuatu yang berjalan baik dan mengembangkannya dengan cara-cara yang tidak terduga.
Sumber: Google.com (annotated)
Nothing to be described in detail. Just simply sharing my knowledge..
Kamis, 19 Juli 2007
Rabu, 18 Juli 2007
Bank Syariah dan Sektor Riil
Pada fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi, bank berperan sebagai penghubung antara surplus unit dengan deficit unit dalam sebuah perekonomian. Dalam memainkan fungsi ini, terdapat perbedaan mendasar antara konsep bank konvensional dan bank syariah, sehingga kita perlu memahami secara benar landasan filosofis bank syariah, yang membedakannya secara prinsipil dengan bank konvensional. Banyak kritik yang dialamatkan kepada bank syariah, yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional dalam praktiknya. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bertransaksi dengan bank syariah cenderung "lebih mahal" bila dibandingkan dengan bank konvensional. Boleh jadi, munculnya opini semacam itu akibat kesenjangan informasi yang diterima oleh masyarakat. Untuk itu, perlu diperjelas lagi prinsip dasar dalam praktik bank syariah.
Sesungguhnya, bank syariah adalah bank yang beroperasi atas dasar prinsip "risk-profit sharing". Prinsip ini selaras dengan klausul syariah yang menyatakan bahwa, "laa ribha liman laa kasba" (tidak ada keuntungan tanpa risiko). Artinya, profit dan risiko memiliki grafik yang berbanding lurus. Menurut Irfan Syauqi Beik (Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB), semakin besar risiko, akan semakin besar pula tingkat keuntungan (kerugian) yang akan didapat. Sehingga, bank syariah akan cenderung "lebih berisiko" jika dibandingkan dengan bank konvensional, yang cenderung "lebih pemalas." Bagi bank konvensional, yang terpenting adalah mendapatkan keuntungan dari selisih antara persentase bunga yang dibebankan pada pengusaha/investor dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah.
Sebagai manifestasi dari prinsip ini, maka pola pembiayaan pada bank syariah haruslah didominasi oleh pola mudarabah dan musyarakah, bukan oleh pola murabahah yang saat ini masih menjadi primadona. Murabahah merupakan fixed return mode yang mirip (meskipun tidak sama) dengan konsep bunga pada bank konvensional. Seharusnya murabahah adalah skema pembiayaan yang menjadi pelengkap skema mudarabah dan musyarakah, dan bertugas untuk meng-cover apa yang tidak bisa dijangkau oleh mudarabah dan musyarakah.
Masih menurut Irfan, kehadiran bank syariah seharusnya memberikan dampak yang luar biasa terhadap sektor riil. Hal ini dikarenakan pola mudarabah dan musyarakah adalah pola investasi langsung pada sektor riil. Return pada sektor keuangan (bagi hasil), dalam prinsip ajaran Islam sangat ditentukan oleh sektor riil. Berbeda dengan konsep konvensional, di mana return pada sektor riil ditentukan oleh sektor keuangan.
Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, mengatakan, hingga saat ini, wujud dukungan perbankan syariah terhadap sektor riil di Indonesia sangatlah nyata, terutama untuk sektor usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) yang porsi pembiayaannya di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 90 persen.
Investasi inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh bangsa kita, agar angka pengangguran dan tingkat kemiskinan dapat direduksi. Oleh karena itu, BI harus mendorong regulasi yang menunjang iklim investasi berbasiskan skema mudarabah dan musyarakah, sekaligus mengantisipasi kemungkinan terjadinya kredit macet. Hal ini disebabkan oleh besarnya risiko yang akan dihadapi oleh pihak bank syariah.
Meski demikian, kemungkinan terjadinya kredit fiktif yang selama ini kerap terjadi pada bank konvensional, dapat diminimalisir. Ini dikarenakan persyaratan ketat yang diatur oleh syariat Islam pada pelaksanaan kedua skema pembiayaan tersebut, di mana keduanya bukan semata-mata paper-based financing, melainkan asset and production based financing dengan kejujuran, transparansi, dan keterbukaan sebagai landasan pokoknya. Dan ini diperkuat pula oleh peran depositor di dalam mengontrol jalannya bank syariah, karena dalam konsep bank syariah, mereka dianggap dan diperlakukan sebagai bagian dari pemilik bank.
Wallahu'alam.
Sesungguhnya, bank syariah adalah bank yang beroperasi atas dasar prinsip "risk-profit sharing". Prinsip ini selaras dengan klausul syariah yang menyatakan bahwa, "laa ribha liman laa kasba" (tidak ada keuntungan tanpa risiko). Artinya, profit dan risiko memiliki grafik yang berbanding lurus. Menurut Irfan Syauqi Beik (Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB), semakin besar risiko, akan semakin besar pula tingkat keuntungan (kerugian) yang akan didapat. Sehingga, bank syariah akan cenderung "lebih berisiko" jika dibandingkan dengan bank konvensional, yang cenderung "lebih pemalas." Bagi bank konvensional, yang terpenting adalah mendapatkan keuntungan dari selisih antara persentase bunga yang dibebankan pada pengusaha/investor dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah.
Sebagai manifestasi dari prinsip ini, maka pola pembiayaan pada bank syariah haruslah didominasi oleh pola mudarabah dan musyarakah, bukan oleh pola murabahah yang saat ini masih menjadi primadona. Murabahah merupakan fixed return mode yang mirip (meskipun tidak sama) dengan konsep bunga pada bank konvensional. Seharusnya murabahah adalah skema pembiayaan yang menjadi pelengkap skema mudarabah dan musyarakah, dan bertugas untuk meng-cover apa yang tidak bisa dijangkau oleh mudarabah dan musyarakah.
Masih menurut Irfan, kehadiran bank syariah seharusnya memberikan dampak yang luar biasa terhadap sektor riil. Hal ini dikarenakan pola mudarabah dan musyarakah adalah pola investasi langsung pada sektor riil. Return pada sektor keuangan (bagi hasil), dalam prinsip ajaran Islam sangat ditentukan oleh sektor riil. Berbeda dengan konsep konvensional, di mana return pada sektor riil ditentukan oleh sektor keuangan.
Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, mengatakan, hingga saat ini, wujud dukungan perbankan syariah terhadap sektor riil di Indonesia sangatlah nyata, terutama untuk sektor usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) yang porsi pembiayaannya di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 90 persen.
Investasi inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh bangsa kita, agar angka pengangguran dan tingkat kemiskinan dapat direduksi. Oleh karena itu, BI harus mendorong regulasi yang menunjang iklim investasi berbasiskan skema mudarabah dan musyarakah, sekaligus mengantisipasi kemungkinan terjadinya kredit macet. Hal ini disebabkan oleh besarnya risiko yang akan dihadapi oleh pihak bank syariah.
Meski demikian, kemungkinan terjadinya kredit fiktif yang selama ini kerap terjadi pada bank konvensional, dapat diminimalisir. Ini dikarenakan persyaratan ketat yang diatur oleh syariat Islam pada pelaksanaan kedua skema pembiayaan tersebut, di mana keduanya bukan semata-mata paper-based financing, melainkan asset and production based financing dengan kejujuran, transparansi, dan keterbukaan sebagai landasan pokoknya. Dan ini diperkuat pula oleh peran depositor di dalam mengontrol jalannya bank syariah, karena dalam konsep bank syariah, mereka dianggap dan diperlakukan sebagai bagian dari pemilik bank.
Wallahu'alam.
Meniru? Kenapa Tidak!?
Tahu apa kata utama yang paling sering diucap dalam pembahasan mengenai pemasaran (marketing)? Diferensiasi. Perusahaan harus mampu mencari keunikan produk untuk memperoleh keunggulan kompetitif di pasar. Karena, perusahaan dapat menghindari diri dari komoditasi produk yang akan memicu persaingan harga. Lebih lanjut, karena menawarkan sesuatu yang baru, perusahaan dapat menikmati premium price.
Marketing is a game of differentiation. Jack Trout bahkan menyampaikan dengan sangat tegas mengenai diferensiasi ini, "differentiate or die" (bedakan atau mati).
Banyak contoh yang dapat dilihat dengan mudah di kehidupan sehari-hari.
Kartu kredit Citibank dengan fasilitas 1 bill (semua tagihan dapat dibayar lewat kartu kredit) membuat para pemegang kartunya tidak dapat lepas dari kartunya. BCA menjadikan dirinya payment gateway yang hampir tidak tertandingi saat ini. Ada bankir yang mengatakan pada saya, BCA adalah windows-nya pemegang rekening. Suka atau tidak, harus punya rekening di sana. Perkara kualitas layanan, biaya, keaktifan rekening dan lain-lain merupakan hal kedua.
Tetapi, mencari diferensiasi bukan perkara mudah. Ia membutuhkan banyak sumber daya. Beberapa di antaranya, komitmen manajemen, sumber daya manusia yang andal dan kreatif, kesiapan organisasi untuk mencoba hal-hal baru, waktu dan dana. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa hal baru yang diperkenalkan ke pasar dapat diterima dengan baik. Risiko gagal selalu merupakan faktor yang melekat pada setiap inisiatif baru.
Bagaimana bila perusahaan tidak memiliki sumber daya tersebut? Atau, katakanlah, diperlukan counter initiative yang cepat karena pangsa pasar makin tergerus oleh inovasi pesaing? Jawabannya adalah meniru, walaupun tentu saja, meniru tidaklah cukup. Perusahaan juga harus mampu untuk melakukan inovasi-inovasi baru yang belum pernah diciptakan oleh pesaing.
Mengutip apa yang ditulis oleh Jopie Jusuf, seorang praktisi strategi bisnis, ada beberapa alasan untuk meniru. Pertama, seiring dengan munculnya produk tiruan, produk pesaing yang tadinya baru menjadi tidak baru lagi. Ricard D'Aveni mengatakannya sebagai neutralizing the competitive advantage (menetralisasi keunggulan kompetitif).
Seiring dengan hilangnya aspek "kebaruan" tersebut, pesaing tidak dapat lagi menikmati premium harga. Atau setidaknya, premium tersebut mulai berkurang. Misalnya, harga iPod mulai menurun sejak munculnya produk sejenis dari pesaing-pesaingnya di pasar, seperti Creative, Samsung, dan lain-lain. Memang belum ada produk-produk pesaing tersebut yang mampu menyaingi kehebatan iPod, tetapi nilai "ke-baru-an" yang ditawarkan oleh iPod mulai menghilang dengan hadirnya produk-produk dari pesaing.
Kedua, meniru mengurangi biaya dan risiko pengembangan. Aqua mengeluarkan banyak biaya untuk mengedukasi pasar Indonesia sebelum sukses. Setelah itu, pengikutnya hanya tinggal ikut menikmati rejeki dari membesarnya market size.
Ketiga, dengan meniru dan membuat produk sejenis, perusahaan dapat mempertahankan pelanggannya. Perusahaan juga harus ingat, bahwa biaya untuk mengakuisisi pelanggan baru jauh lebih besar dibandingkan dengan mempertahankan yang ada. Hal ini terjadi sangat jelas di produk tabungan perbankan. Masih segar di ingatan kita, pada tahun 1990-an, BCA mengeluarkan tabungan berhadiah (Tahapan). Produk ini terbukti sukses di pasar, penghimpunan dana mereka langsung meningkat tajam setelah diluncurkannya produk tersebut, dan keberhasilan ini pada akhirnya memancing pesaing-pesaing lain untuk ikut mengeluarkan produk serupa. Untuk mencegah laju gempuran produk tersebut, muncullah produk tiruan dari bank-bank lain, sebagai contoh, Tabungan Kesra, di mana salah satu motor penggeraknya adalah Panin Bank. Hingga saat ini, semakin banyak bank-bank di Indonesia yang menawarkan beraneka ragam hadiah yang menarik untuk menjaring para nasabah agar mau menyimpan uangnya di bank-bank mereka.
Paling manis bila perusahaan dapat memanfaatkan dengan baik produk tiruannya dan mengambil keuntungan dari sana. Sebagai contoh, BCA bukanlah bank yang pertama kali mengeluarkan kartu debet di Indonesia, melainkan Bank Bali (setelah di-merger oleh pemerintah, sekarang berubah nama menjadi Bank Permata). Tetapi, kita tahu, bahwa hingga saat ini, Debit BCA adalah pemimpin pasar di sektor kartu debet.
Contoh lain adalah Bank Mega dengan Mega Super Bonus 400 Xenia di tahun 2005. Pada dasarnya, seluruh bank besar di Indonesia selalu memberikan hadiah untuk tabungannya. Misal, Tahapan BCA masih terus memberi hadiah yang jumlahnya jauh lebih banyak. Namun, apa positioning yang berhasil dilakukan oleh Bank Mega? Iklannya mengatakan dengan sangat jelas, bahwa peluang nasabah untuk mendapatkan hadiah akan lebih besar, karena di setiap cabang pasti ada pemenangnya. Sederhana, tapi sangat manis.
Jadi, meniru? So what…gitu lho!?
Marketing is a game of differentiation. Jack Trout bahkan menyampaikan dengan sangat tegas mengenai diferensiasi ini, "differentiate or die" (bedakan atau mati).
Banyak contoh yang dapat dilihat dengan mudah di kehidupan sehari-hari.
Kartu kredit Citibank dengan fasilitas 1 bill (semua tagihan dapat dibayar lewat kartu kredit) membuat para pemegang kartunya tidak dapat lepas dari kartunya. BCA menjadikan dirinya payment gateway yang hampir tidak tertandingi saat ini. Ada bankir yang mengatakan pada saya, BCA adalah windows-nya pemegang rekening. Suka atau tidak, harus punya rekening di sana. Perkara kualitas layanan, biaya, keaktifan rekening dan lain-lain merupakan hal kedua.
Tetapi, mencari diferensiasi bukan perkara mudah. Ia membutuhkan banyak sumber daya. Beberapa di antaranya, komitmen manajemen, sumber daya manusia yang andal dan kreatif, kesiapan organisasi untuk mencoba hal-hal baru, waktu dan dana. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa hal baru yang diperkenalkan ke pasar dapat diterima dengan baik. Risiko gagal selalu merupakan faktor yang melekat pada setiap inisiatif baru.
Bagaimana bila perusahaan tidak memiliki sumber daya tersebut? Atau, katakanlah, diperlukan counter initiative yang cepat karena pangsa pasar makin tergerus oleh inovasi pesaing? Jawabannya adalah meniru, walaupun tentu saja, meniru tidaklah cukup. Perusahaan juga harus mampu untuk melakukan inovasi-inovasi baru yang belum pernah diciptakan oleh pesaing.
Mengutip apa yang ditulis oleh Jopie Jusuf, seorang praktisi strategi bisnis, ada beberapa alasan untuk meniru. Pertama, seiring dengan munculnya produk tiruan, produk pesaing yang tadinya baru menjadi tidak baru lagi. Ricard D'Aveni mengatakannya sebagai neutralizing the competitive advantage (menetralisasi keunggulan kompetitif).
Seiring dengan hilangnya aspek "kebaruan" tersebut, pesaing tidak dapat lagi menikmati premium harga. Atau setidaknya, premium tersebut mulai berkurang. Misalnya, harga iPod mulai menurun sejak munculnya produk sejenis dari pesaing-pesaingnya di pasar, seperti Creative, Samsung, dan lain-lain. Memang belum ada produk-produk pesaing tersebut yang mampu menyaingi kehebatan iPod, tetapi nilai "ke-baru-an" yang ditawarkan oleh iPod mulai menghilang dengan hadirnya produk-produk dari pesaing.
Kedua, meniru mengurangi biaya dan risiko pengembangan. Aqua mengeluarkan banyak biaya untuk mengedukasi pasar Indonesia sebelum sukses. Setelah itu, pengikutnya hanya tinggal ikut menikmati rejeki dari membesarnya market size.
Ketiga, dengan meniru dan membuat produk sejenis, perusahaan dapat mempertahankan pelanggannya. Perusahaan juga harus ingat, bahwa biaya untuk mengakuisisi pelanggan baru jauh lebih besar dibandingkan dengan mempertahankan yang ada. Hal ini terjadi sangat jelas di produk tabungan perbankan. Masih segar di ingatan kita, pada tahun 1990-an, BCA mengeluarkan tabungan berhadiah (Tahapan). Produk ini terbukti sukses di pasar, penghimpunan dana mereka langsung meningkat tajam setelah diluncurkannya produk tersebut, dan keberhasilan ini pada akhirnya memancing pesaing-pesaing lain untuk ikut mengeluarkan produk serupa. Untuk mencegah laju gempuran produk tersebut, muncullah produk tiruan dari bank-bank lain, sebagai contoh, Tabungan Kesra, di mana salah satu motor penggeraknya adalah Panin Bank. Hingga saat ini, semakin banyak bank-bank di Indonesia yang menawarkan beraneka ragam hadiah yang menarik untuk menjaring para nasabah agar mau menyimpan uangnya di bank-bank mereka.
Paling manis bila perusahaan dapat memanfaatkan dengan baik produk tiruannya dan mengambil keuntungan dari sana. Sebagai contoh, BCA bukanlah bank yang pertama kali mengeluarkan kartu debet di Indonesia, melainkan Bank Bali (setelah di-merger oleh pemerintah, sekarang berubah nama menjadi Bank Permata). Tetapi, kita tahu, bahwa hingga saat ini, Debit BCA adalah pemimpin pasar di sektor kartu debet.
Contoh lain adalah Bank Mega dengan Mega Super Bonus 400 Xenia di tahun 2005. Pada dasarnya, seluruh bank besar di Indonesia selalu memberikan hadiah untuk tabungannya. Misal, Tahapan BCA masih terus memberi hadiah yang jumlahnya jauh lebih banyak. Namun, apa positioning yang berhasil dilakukan oleh Bank Mega? Iklannya mengatakan dengan sangat jelas, bahwa peluang nasabah untuk mendapatkan hadiah akan lebih besar, karena di setiap cabang pasti ada pemenangnya. Sederhana, tapi sangat manis.
Jadi, meniru? So what…gitu lho!?
Minggu, 08 Juli 2007
Does Creative Thinking Important?
Judul di atas adalah pertanyaan yang menggelitik untuk kita. Secara spontan, kita pasti akan menjawab bahwa kreatifitas adalah hal yang penting, namun harus kita akui juga bahwa sejak di bangku sekolah, kretifitas kurang mendapatkan porsi yang memadai, kecuali di sekolah-sekolah berkelas yang mahal, dimana para pelajar dan siswa banyak diberikan kebebasan berpikir dan berkreasi. Dan sejak kita lulus dari pendidikan lalu mulai masuk ke dunia kerja, jarang sekali kreatifitas dan inovasi digunakan dalam bekerja, kecuali untuk bidang-bidang kerja yang memang membutuhkan kreatifitas. Sebagian besar dunia kerja justru menuntut skill, pengalaman dan loyalitas. Dan jika kenyataannya seperti itu, apakah kita masih menganggap bahwa kreatifitas adalah penting? Sementara di negara-negara maju seperti Jepang, kultur dan budaya untuk berpikir secara kreatif dan inovatif telah ditanamkan sejak lahir terus menerus, bahkan juga selama dalam kandungan, dan mungkin itulah sebabnya mengapa orang Jepang mempunyai disiplin diri yang tinggi, dan juga tingkat inovasi dan kreatifitas yang sangat tinggi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan Indonesia, mengapa di negara yang kita cintai ini kreatifitas kelihatannya kurang berkembang?
Masyarakat umum mempunyai persepsi tertentu tentang perlunya berpikir kreatif dan inovatif. Persepsi-persepsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berpikir bisa terbentuk dengan sendirinya.
2. Asal jalan dan menurut sistem dan aturan yang ada sudah cukup.
3. Berpikir seperti bernapas, makan, minum dan kegiatan yang bisa digolongkan otomatis atau berjalan sendiri.
4. Berpikir dan menemukan sesuatu yang baru adalah urusan atasan.
5. Bertanya terutama untuk mencari informasi akan merendahkan diri.
6. Takut melakukan kritik karena kritik adalah sesuatu yang tabu.
Cara pandang masyarakat seperti di atas pada praktiknya masih banyak dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita. Itu tidak salah, namun akan membuat kita semakin jauh tertinggal dengan negara lain, yang justru mendorong rakyatnya untuk terus berinovasi melalui kultur, budaya, dan kemudahan-kemudahan tertentu yang diterapkan di negaranya. Jadi, bagaimana seyogyanya kita menyikapi situasi seperti di atas?
Merajuk kepada apa yang dijelaskan oleh Ping Hartono, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menyikapi situasi seperti itu:
1. Fungsi pembelajaran mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi tidak hanya mengajarkan ilmu yang standar saja, tapi hal tentang kreatifitas, inovasi, dan sejenisnya harus dimasukkan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
2. Dunia pendidikan dan juga masyarakat perlu membantu mengajarkan bagaimana menyelesaikan sebuah masalah dan menciptakan solusi yang tepat, bukan malah membiasakan diri takut kepada masalah dan menghindarinya. Di negara kita sudah lazim terjadi, banyak orang tua yang justru sering menasehatkan kepada anak-anaknya untuk "tidak neko-neko, jangan macam-macam, nanti kalau gagal tahu sendiri akibatnya", dan hal-hal lain yang justru bisa menghalangi kreatifitas dan inovasi seseorang. Mengapa kita sebagai orang tua, sebagai pendidik tidak mencoba mengajarkan keberanian untuk 'out of the box' seperti, "Ayo, kamu pasti bisa, ayo, coba pikirkan dengan cara lain, jangan takut, kamu pasti bisa menyelesaikannya", dan sebagainya. Dengan semakin membatasi pemikiran anak, kemudian memanjakan mereka di saat sedang menghadapi masalah, dan selalu menakut-nakuti mereka dengan hal-hal yang pesimistik hanya akan membuat kreatifitas mereka menjadi tumpul, dan tidak adanya keberanian dalam mengambil suatu tindakan/keputusan. Biarkan anak menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri, dan tugas orang tua hanyalah memberikan bimbingan agar mereka tidak melakukan hal yang tidak benar.
3. Perubahan akan terjadi setiap saat. Masyarakat perlu belajar bagaimana menghadapi sebuah perubahan (change), terutama dengan mulai berubah dari diri sendiri lebih dulu.
Beberapa saat yang lalu ada pernyataan pemerintah di salah satu surat kabar yang berbunyi: "Pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi 5 negara besar dunia". Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita memulai sesuatu hal melalui impian, pikiran gila dan pandangan ke depan harus dan sangat baik. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, mampukah kita mulai sekarang meningkatkan kemampuan berpikir dan melakukan sesuatu yang belum dilakukan oleh negara-negara lain? Kemudian, meningkatkan kualitas manusia, termasuk cara berpikir, sehingga impian tersebut bisa menjadi kenyataan? Kalau belum ada tindakan yang konkret dengan kepemimpinan yang kuat, maka semuanya hanya merupakan impian belaka (just building castle castle in the air).
Alangkah indahnya jika negara kita mempunyai banyak orang yang mau menggunakan kreatifitasnya untuk melakukan hal-hal yang benar dan berguna bagi banyak orang, tidak hanya untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi semata.
"BERPIKIRLAH!"
Masyarakat umum mempunyai persepsi tertentu tentang perlunya berpikir kreatif dan inovatif. Persepsi-persepsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berpikir bisa terbentuk dengan sendirinya.
2. Asal jalan dan menurut sistem dan aturan yang ada sudah cukup.
3. Berpikir seperti bernapas, makan, minum dan kegiatan yang bisa digolongkan otomatis atau berjalan sendiri.
4. Berpikir dan menemukan sesuatu yang baru adalah urusan atasan.
5. Bertanya terutama untuk mencari informasi akan merendahkan diri.
6. Takut melakukan kritik karena kritik adalah sesuatu yang tabu.
Cara pandang masyarakat seperti di atas pada praktiknya masih banyak dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita. Itu tidak salah, namun akan membuat kita semakin jauh tertinggal dengan negara lain, yang justru mendorong rakyatnya untuk terus berinovasi melalui kultur, budaya, dan kemudahan-kemudahan tertentu yang diterapkan di negaranya. Jadi, bagaimana seyogyanya kita menyikapi situasi seperti di atas?
Merajuk kepada apa yang dijelaskan oleh Ping Hartono, ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menyikapi situasi seperti itu:
1. Fungsi pembelajaran mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi tidak hanya mengajarkan ilmu yang standar saja, tapi hal tentang kreatifitas, inovasi, dan sejenisnya harus dimasukkan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
2. Dunia pendidikan dan juga masyarakat perlu membantu mengajarkan bagaimana menyelesaikan sebuah masalah dan menciptakan solusi yang tepat, bukan malah membiasakan diri takut kepada masalah dan menghindarinya. Di negara kita sudah lazim terjadi, banyak orang tua yang justru sering menasehatkan kepada anak-anaknya untuk "tidak neko-neko, jangan macam-macam, nanti kalau gagal tahu sendiri akibatnya", dan hal-hal lain yang justru bisa menghalangi kreatifitas dan inovasi seseorang. Mengapa kita sebagai orang tua, sebagai pendidik tidak mencoba mengajarkan keberanian untuk 'out of the box' seperti, "Ayo, kamu pasti bisa, ayo, coba pikirkan dengan cara lain, jangan takut, kamu pasti bisa menyelesaikannya", dan sebagainya. Dengan semakin membatasi pemikiran anak, kemudian memanjakan mereka di saat sedang menghadapi masalah, dan selalu menakut-nakuti mereka dengan hal-hal yang pesimistik hanya akan membuat kreatifitas mereka menjadi tumpul, dan tidak adanya keberanian dalam mengambil suatu tindakan/keputusan. Biarkan anak menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri, dan tugas orang tua hanyalah memberikan bimbingan agar mereka tidak melakukan hal yang tidak benar.
3. Perubahan akan terjadi setiap saat. Masyarakat perlu belajar bagaimana menghadapi sebuah perubahan (change), terutama dengan mulai berubah dari diri sendiri lebih dulu.
Beberapa saat yang lalu ada pernyataan pemerintah di salah satu surat kabar yang berbunyi: "Pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi 5 negara besar dunia". Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita memulai sesuatu hal melalui impian, pikiran gila dan pandangan ke depan harus dan sangat baik. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, mampukah kita mulai sekarang meningkatkan kemampuan berpikir dan melakukan sesuatu yang belum dilakukan oleh negara-negara lain? Kemudian, meningkatkan kualitas manusia, termasuk cara berpikir, sehingga impian tersebut bisa menjadi kenyataan? Kalau belum ada tindakan yang konkret dengan kepemimpinan yang kuat, maka semuanya hanya merupakan impian belaka (just building castle castle in the air).
Alangkah indahnya jika negara kita mempunyai banyak orang yang mau menggunakan kreatifitasnya untuk melakukan hal-hal yang benar dan berguna bagi banyak orang, tidak hanya untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi semata.
"BERPIKIRLAH!"
Sabtu, 07 Juli 2007
Cerdas Berinvestasi
Tidak banyak yang kaget ketika sejumlah harian Ibukota memberitakan kasus penipuan berkedok investasi yang memperdayai para pejabat tinggi negeri ini. Nama-nama besar di Senayan seperti Ketua DPR RI Agung Laksono, Ketua Fraksi Partai Golkar Andi Mattalata, Ketua Komisi I DPR RI Theo L Sambuaga, dan Ketua Panitia Anggaran DPR RI Emir Moeis tertipu oleh PT Wahana Bersama Globalindo (WBG), agen produk investasi yang diterbitkan Dressel Investment Ltd, perusahaan yang bermarkas di British Virgin Island, Karibia.
Di luar jajaran legislatif, tersiar nama Mennegpora Adhayaksa Dault dan sejumlah nama kondang seperti pengacara OC Kaligis dan artis senior Sandy Harun. Ada juga CEO perusahaan dengan aset di atas Rp 5 triliun yang juga tertipu.
Terungkapnya kasus penipuan berkedok investasi di Tanah Air menguak pula sebuah realitas yang selama ini masih samar-samar bahwa para anggota dewan memiliki banyak uang. Mereka tidak kalah kaya dibanding para profesional papan atas, bahkan dengan para pengusaha sekalipun. Duit Agung Laksono yang amblas digasak WBG mencapai Rp 10 miliar.
Masih banyak lagi pejabat, pusat hingga daerah, tokoh, bahkan profesional yang tertipu oleh bujuk rayu perusahaan berkedok investasi. Mereka enggan membuat gugatan karena takut ketahuan tidak cerdas berinvestasi.
Sudah begitu banyak kasus penipuan berkedok investasi yang 'merampok' uang masyarakat. Yang masih hangat saat ini adalah kasus penipuan SPI dan WBG. Dana masyarakat yang diraup SPI dari dalam negeri lebih dari Rp 2 triliun. Sejumlah sumber menyebut angka Rp 8 triliun dan pemilik perusahaan, Leo Sinaga telah hilang bak ditelan bumi. Sedangkan dana yang dimobilisasi WBG sejak 1997 di atas Rp 5 triliun, dan sedikitnya Rp 3,5 triliun tak bisa dikembalikan kepada nasabah.
Tahun lalu, lebih dari 5.000 nasabah tertipu oleh aktivitas PT Interbanking Business (Ibist.). Sebelumnya ada beberapa kasus sempat mencuat, seperti PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), PT Add Farm, dan PT Probest.
Setidaknya ada empat alasan utama yang membuat nasabah gelap mata dan menubruk produk yang ditawarkan. Pertama, bunga yang ditawarkan perusahaan berkedok investasi sangat tinggi, sekitar 3%-5% per bulan. Bandingkan dengan bungan simpanan di bank yang hanya sekitar 0,5% setahun.
Kedua, tenaga pemasar perusahaan ilegal itu sangat piawai dalam menawarkan produk. Selain pandai, mereka juga berpenampilan menarik dan menggunakan trik-trik yang memikat. Nama orang terkenal yang sudah menjadi anggota selalu digunakan untuk menjebak mangsa baru. Ada juga nasabah yang terjebak karena tenaga pemasar adalah anggota keluarga atau masih terhitung keluarga.
Ketiga, minimnya pengetahuan nasabah tentang investasi. Mereka tidak menyadari bahwa pertimbangan utama dalam investasi bukanlah keuntungan, melainkan keamanan. Berapa pun besarnya keuntungan yang dijanjikan, bila tidak aman, tak ada gunanya. Bukan hanya janji bunga yang tidak diterima, pokok pun akan bablas. Urutan kedua setelah aman adalah likuiditas. Dalam investasi yang benar, pemodal bisa masuk dan keluar dengan cepat.
Keempat, pemilik dana acap tidak sabar. Ketika mendengar penjelasan tentang investasi baru dengan keuntungan yang menggiurkan, pemilik dana tak bisa membendung hasrat untuk meraup keuntungan.
Kita tak perlu heran bila aksi para penipu mampu memperdaya pejabat tinggi dan para profesional yang memegang jabatan puncak di perusahaan. Mereka tidak paham seluk-beluk investasi. Bahwa dalam investasi tidak ada keuntungan yang datang dengan amat mudah tanpa jerih payah. 'No pain, no gain'. Bahwa dalam investasi, semua keuntungan dan kerugian bisa dijelaskan dari sisi fundamental dan teknikal. Bahwa high return berbanding lurus dengan high risk.
Dalam investasi, risiko dikelola menjadi minimal, sedangkan dalam judi, risiko justru dimaksimalkan agar terjadi zero sum game. Para nasabah boleh gigit jari karena dananya habis terkuras, sedangkan pemilik perusahaan berkedok investasi berpesta pora.
Alangkah ironisnya. Para pemilik dana, terutama yang tergolong cerdik pandai seperti anggota dewan dan CEO, begitu mudahnya tertipu saat pasar modal Indonesia memperlihatkan kinerja terbaik. Keuntungan dari investasi di pasar modal cukup besar. Tahun lalu, indeks harga saham gabungan (IHSG) melesat 55%. Puluhan saham mencatat kenaikan di atas 40%. Reksa dana saham memberikan gain di atas 25% setahun. Keuntungan obligasi di atas 15%. Meski tidak sebesar 2006, instrumen di pasar modal tahun ini masih memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dari deposito.
Pemilik dana bisa menggunakan jasa perusahaan sekuritas dan manajer investasi yang mengantungi izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk memilih instrumen investasi yang sesuai.
Banyak orang mampu mengumpulkan uang, tapi tidak cukup cerdas mengamankan dan menggandakan kekayaan lewat investasi yang benar.
Di luar jajaran legislatif, tersiar nama Mennegpora Adhayaksa Dault dan sejumlah nama kondang seperti pengacara OC Kaligis dan artis senior Sandy Harun. Ada juga CEO perusahaan dengan aset di atas Rp 5 triliun yang juga tertipu.
Terungkapnya kasus penipuan berkedok investasi di Tanah Air menguak pula sebuah realitas yang selama ini masih samar-samar bahwa para anggota dewan memiliki banyak uang. Mereka tidak kalah kaya dibanding para profesional papan atas, bahkan dengan para pengusaha sekalipun. Duit Agung Laksono yang amblas digasak WBG mencapai Rp 10 miliar.
Masih banyak lagi pejabat, pusat hingga daerah, tokoh, bahkan profesional yang tertipu oleh bujuk rayu perusahaan berkedok investasi. Mereka enggan membuat gugatan karena takut ketahuan tidak cerdas berinvestasi.
Sudah begitu banyak kasus penipuan berkedok investasi yang 'merampok' uang masyarakat. Yang masih hangat saat ini adalah kasus penipuan SPI dan WBG. Dana masyarakat yang diraup SPI dari dalam negeri lebih dari Rp 2 triliun. Sejumlah sumber menyebut angka Rp 8 triliun dan pemilik perusahaan, Leo Sinaga telah hilang bak ditelan bumi. Sedangkan dana yang dimobilisasi WBG sejak 1997 di atas Rp 5 triliun, dan sedikitnya Rp 3,5 triliun tak bisa dikembalikan kepada nasabah.
Tahun lalu, lebih dari 5.000 nasabah tertipu oleh aktivitas PT Interbanking Business (Ibist.). Sebelumnya ada beberapa kasus sempat mencuat, seperti PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), PT Add Farm, dan PT Probest.
Setidaknya ada empat alasan utama yang membuat nasabah gelap mata dan menubruk produk yang ditawarkan. Pertama, bunga yang ditawarkan perusahaan berkedok investasi sangat tinggi, sekitar 3%-5% per bulan. Bandingkan dengan bungan simpanan di bank yang hanya sekitar 0,5% setahun.
Kedua, tenaga pemasar perusahaan ilegal itu sangat piawai dalam menawarkan produk. Selain pandai, mereka juga berpenampilan menarik dan menggunakan trik-trik yang memikat. Nama orang terkenal yang sudah menjadi anggota selalu digunakan untuk menjebak mangsa baru. Ada juga nasabah yang terjebak karena tenaga pemasar adalah anggota keluarga atau masih terhitung keluarga.
Ketiga, minimnya pengetahuan nasabah tentang investasi. Mereka tidak menyadari bahwa pertimbangan utama dalam investasi bukanlah keuntungan, melainkan keamanan. Berapa pun besarnya keuntungan yang dijanjikan, bila tidak aman, tak ada gunanya. Bukan hanya janji bunga yang tidak diterima, pokok pun akan bablas. Urutan kedua setelah aman adalah likuiditas. Dalam investasi yang benar, pemodal bisa masuk dan keluar dengan cepat.
Keempat, pemilik dana acap tidak sabar. Ketika mendengar penjelasan tentang investasi baru dengan keuntungan yang menggiurkan, pemilik dana tak bisa membendung hasrat untuk meraup keuntungan.
Kita tak perlu heran bila aksi para penipu mampu memperdaya pejabat tinggi dan para profesional yang memegang jabatan puncak di perusahaan. Mereka tidak paham seluk-beluk investasi. Bahwa dalam investasi tidak ada keuntungan yang datang dengan amat mudah tanpa jerih payah. 'No pain, no gain'. Bahwa dalam investasi, semua keuntungan dan kerugian bisa dijelaskan dari sisi fundamental dan teknikal. Bahwa high return berbanding lurus dengan high risk.
Dalam investasi, risiko dikelola menjadi minimal, sedangkan dalam judi, risiko justru dimaksimalkan agar terjadi zero sum game. Para nasabah boleh gigit jari karena dananya habis terkuras, sedangkan pemilik perusahaan berkedok investasi berpesta pora.
Alangkah ironisnya. Para pemilik dana, terutama yang tergolong cerdik pandai seperti anggota dewan dan CEO, begitu mudahnya tertipu saat pasar modal Indonesia memperlihatkan kinerja terbaik. Keuntungan dari investasi di pasar modal cukup besar. Tahun lalu, indeks harga saham gabungan (IHSG) melesat 55%. Puluhan saham mencatat kenaikan di atas 40%. Reksa dana saham memberikan gain di atas 25% setahun. Keuntungan obligasi di atas 15%. Meski tidak sebesar 2006, instrumen di pasar modal tahun ini masih memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dari deposito.
Pemilik dana bisa menggunakan jasa perusahaan sekuritas dan manajer investasi yang mengantungi izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk memilih instrumen investasi yang sesuai.
Banyak orang mampu mengumpulkan uang, tapi tidak cukup cerdas mengamankan dan menggandakan kekayaan lewat investasi yang benar.
Selasa, 03 Juli 2007
Menunjuk CEO Internal/Eksternal?
Ketatnya kompetisi dalam dunia bisnis telah membuat perusahaan harus memutar akal untuk membuat strategi terbaik agar bisa menang dalam berkompetisi. Segala macam cara ditempuh agar perusahaan bisa beradaptasi dengan perubahan dalam dunia bisnis.
Penunjukan CEO pun menjadi salah satu agenda terpenting bagi sebuah perusahaan, karena CEO merupakan tonggak yang mengatur dan mengendalikan operasional suatu perusahaan. Perdebatan mengenai pengangkatan CEO secara internal atau eksternal pun telah menjadi diskusi yang sangat panjang dan menarik untuk diperdebatkan.
Tidak hanya di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri sendiri sudah banyak contoh-contoh kasus mengenai pengangkatan CEO, baik secara internal maupun eksternal.
Contoh yang masih hangat dalam benak kita adalah Telkom dan Jamsostek, di mana komisaris dari kedua perusahaan milik negara (BUMN) tersebut menunjuk orang luar untuk memimpin perusahaan, dan pada akhirnya berujung kepada pencopotan kedua CEO tersebut karena alasan ketidakcocokan antara CEO dan karyawan. Telkom sendiri saat ini telah menunjuk orang dalam, yaitu Direktur Keuangan untuk menjabat sebagai CEO menggantikan Arwin Rasyid. Selain itu, masih banyak juga contoh-contoh lain perusahaan lokal yang mengangkat CEO secara eksternal, dan performance perusahaan masih tetap dapat terjaga. Sebut saja Robby Djohan, mantan CEO Bank Mandiri, yang saat ini menjalani tugasnya sebagai CEO Bank Mega, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Sebelum perusahaan memutuskan untuk mengangkat CEO, baik itu secara internal maupun eksternal, ada baiknya jika mereka mengkaji terlebih dahulu secara mendalam satu per satu mana yang terbaik bagi perusahaan.
Mencari CEO dari luar, terkadang akan membuat pasar, para pemegang saham, dan para pegawai bingung. Hal itu juga akan mengindikasikan ketidakpercayaan dewan direksi pada pengembangan karyawannya sendiri, juga pada kinerja dan strateginya.
Mengangkat orang dalam sebagai CEO tidaklah merupakan sesuatu hal yang buruk. Setelah mempelajari imbal hasil pemegang saham sekitar 1.595 perusahaan di seluruh dunia dari tahun 1995 sampai 2005, firma konsultan Booz Allen Hamilton Inc. menemukan bahwa CEO yang berasal dari luar perusahaan biasanya berprestasi lebih baik ketimbang orang dalam untuk beberapa tahun pertama. Namun, prestasi itu perlahan-lahan menurun setelah dampak positif dari upaya-upaya perbaikan cepat--seperti pemangkasan biaya--mulai hilang.
Imbal hasil pemegang saham yang dibukukan CEO dari luar perusahaan dalam paruh pertama masa kepemimpinan mereka memang hampir empat kali lipat lebih tinggi dibanding CEO dari dalam. Median perolehan tahunan mencapai 8,6%. Tetapi paruh ke-2 masa kepemimpinan mereka mengecewakan. Imbal hasil tahunan turun 2,6%. Sementara itu, CEO dari kalangan dalam justru melonjak dengan kenaikan tahunan 1,1%. Seperti yang diungkapkan oleh Senior Vice President Booz Allen, Paul F. Kocourek, bahwa orang luar hanya pada awalnya saja mengambil langkah-langkah berani, tetapi kemudian mereka kehilangan aksi setelah 3-4 tahun.
Pada kenyataannya, memang masih banyak dewan direksi perusahaan yang mengangkat CEO terkenal dari luar. Tetapi, biasanya itu hanya dilakukan kalau mereka gagal memoles pengganti yang baik, ingin menunjukkan perubahan strategi, atau menghadapi masalah-masalah hukum yang menuntut perubahan.
Perusahaan-perusahaan asing yang pada awalnya mencari eksekutif dari luar tapi kemudian kembali mencari orang dalam antara lain Merck, Nike, dan Fannie Mae. Jim Collins, Good to Great, penulis dari buku kepemimpinan yang sangat laris itu menyatakan dukungannya atas tindakan dewan direksi dalam menunjuk CEO secara internal. CEO dari luar dianggapnya seperti pembunuh bayaran. Para eksekutif yang nomaden cenderung ambisius demi kepentingan diri sendiri, tidak untuk perusahaan di mana mereka belum begitu terlibat. Sementara itu, orang dalam kemungkinan memiliki komitmen lebih pada perusahaan yang telah menjadi "rumah professional"-nya sekian lama. Demikian menurut pengamatan Collins.
Pengangkatan CEO dari internal ataupun eksternal merupakan bahan diskusi yang menarik untuk diperdebatkan. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan semua itu kembali kepada kebijakan perusahaan untuk menentukan mana yang terbaik.
Penunjukan CEO pun menjadi salah satu agenda terpenting bagi sebuah perusahaan, karena CEO merupakan tonggak yang mengatur dan mengendalikan operasional suatu perusahaan. Perdebatan mengenai pengangkatan CEO secara internal atau eksternal pun telah menjadi diskusi yang sangat panjang dan menarik untuk diperdebatkan.
Tidak hanya di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri sendiri sudah banyak contoh-contoh kasus mengenai pengangkatan CEO, baik secara internal maupun eksternal.
Contoh yang masih hangat dalam benak kita adalah Telkom dan Jamsostek, di mana komisaris dari kedua perusahaan milik negara (BUMN) tersebut menunjuk orang luar untuk memimpin perusahaan, dan pada akhirnya berujung kepada pencopotan kedua CEO tersebut karena alasan ketidakcocokan antara CEO dan karyawan. Telkom sendiri saat ini telah menunjuk orang dalam, yaitu Direktur Keuangan untuk menjabat sebagai CEO menggantikan Arwin Rasyid. Selain itu, masih banyak juga contoh-contoh lain perusahaan lokal yang mengangkat CEO secara eksternal, dan performance perusahaan masih tetap dapat terjaga. Sebut saja Robby Djohan, mantan CEO Bank Mandiri, yang saat ini menjalani tugasnya sebagai CEO Bank Mega, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Sebelum perusahaan memutuskan untuk mengangkat CEO, baik itu secara internal maupun eksternal, ada baiknya jika mereka mengkaji terlebih dahulu secara mendalam satu per satu mana yang terbaik bagi perusahaan.
Mencari CEO dari luar, terkadang akan membuat pasar, para pemegang saham, dan para pegawai bingung. Hal itu juga akan mengindikasikan ketidakpercayaan dewan direksi pada pengembangan karyawannya sendiri, juga pada kinerja dan strateginya.
Mengangkat orang dalam sebagai CEO tidaklah merupakan sesuatu hal yang buruk. Setelah mempelajari imbal hasil pemegang saham sekitar 1.595 perusahaan di seluruh dunia dari tahun 1995 sampai 2005, firma konsultan Booz Allen Hamilton Inc. menemukan bahwa CEO yang berasal dari luar perusahaan biasanya berprestasi lebih baik ketimbang orang dalam untuk beberapa tahun pertama. Namun, prestasi itu perlahan-lahan menurun setelah dampak positif dari upaya-upaya perbaikan cepat--seperti pemangkasan biaya--mulai hilang.
Imbal hasil pemegang saham yang dibukukan CEO dari luar perusahaan dalam paruh pertama masa kepemimpinan mereka memang hampir empat kali lipat lebih tinggi dibanding CEO dari dalam. Median perolehan tahunan mencapai 8,6%. Tetapi paruh ke-2 masa kepemimpinan mereka mengecewakan. Imbal hasil tahunan turun 2,6%. Sementara itu, CEO dari kalangan dalam justru melonjak dengan kenaikan tahunan 1,1%. Seperti yang diungkapkan oleh Senior Vice President Booz Allen, Paul F. Kocourek, bahwa orang luar hanya pada awalnya saja mengambil langkah-langkah berani, tetapi kemudian mereka kehilangan aksi setelah 3-4 tahun.
Pada kenyataannya, memang masih banyak dewan direksi perusahaan yang mengangkat CEO terkenal dari luar. Tetapi, biasanya itu hanya dilakukan kalau mereka gagal memoles pengganti yang baik, ingin menunjukkan perubahan strategi, atau menghadapi masalah-masalah hukum yang menuntut perubahan.
Perusahaan-perusahaan asing yang pada awalnya mencari eksekutif dari luar tapi kemudian kembali mencari orang dalam antara lain Merck, Nike, dan Fannie Mae. Jim Collins, Good to Great, penulis dari buku kepemimpinan yang sangat laris itu menyatakan dukungannya atas tindakan dewan direksi dalam menunjuk CEO secara internal. CEO dari luar dianggapnya seperti pembunuh bayaran. Para eksekutif yang nomaden cenderung ambisius demi kepentingan diri sendiri, tidak untuk perusahaan di mana mereka belum begitu terlibat. Sementara itu, orang dalam kemungkinan memiliki komitmen lebih pada perusahaan yang telah menjadi "rumah professional"-nya sekian lama. Demikian menurut pengamatan Collins.
Pengangkatan CEO dari internal ataupun eksternal merupakan bahan diskusi yang menarik untuk diperdebatkan. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan semua itu kembali kepada kebijakan perusahaan untuk menentukan mana yang terbaik.
Minggu, 01 Juli 2007
Antara MLM dan Multitipu-tipu
Ditulis oleh Joice Tauris Santi
Diambil dari Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007
Setelah beberapa tahun yang lalu kita dihebohkan dengan berita menguapnya dana masyarakat yang terkumpul di Qurnia Subur Alam Raya, disusul dengan kisah yang paling baru, yaitu Wahana Bersama Globalindo. Akhir kisahnya sama, duit nasabah yang terkumpul raib, harapan untuk mendapatkan untung besar tinggal impian. Kisah ini seolah selalu berulang dengan versi yang berbeda-beda.
Rupanya, iming-iming keuntungan besar memang menjadi salah satu penarik khalayak ramai untuk turut serta dalam permainan uang ini. Tidak hanya pensiunan, karyawan, artis, pejabat, bahkan orang di kalangan pasar modal juga turut dalam permainan ini. Sialnya, karena sebagian operator permainan uang ini meminta anggotanya untuk merekrut anggota baru agar bisa mendapatkan bonus atau keuntungan, para penjual langsung yang ikut kena getahnya. Pasalnya, masyarakat tidak dapat membedakan mana perusahaan yang hanya melakukan permainan uang (money game) yang menggunakan skema piramida atau perusahaan yang menjual barang secara langsung (direct distributor atau multilevel marketing/MLM).
"Kebanyakan orang tidak dapat membedakan mana yang MLM dan mana yang MTM, alias multitipu marketing,"ujar Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) Helmy Attamimi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Cara operator permainan uang (money game) dalam mengumpulkan dana dengan meminta nasabahnya menjaring orang sebanyak-banyaknya memang hampir sama dengan cara MLM menjual barangnya. Kemiripan cara inilah yang membuat masyarakat menyamaratakan bahwa MTM itu adalah MLM, atau MLM sama dengan MTM.
Janji imbal hasil tinggi
Permainan uang atau biasa disebut money game merupakan usaha penggandaan uang atau "investasi". Biasanya, perusahaan penyelenggaraan money game menjanjikan tingkat imbal hasil yang sangat tinggi dibandingkan dengan produk investasi yang ada, seperti deposito, saham, atau obligasi. Tidak seperti pemeo dalam bidang investasi, high risk high return, money game ini seakan mengecilkan resiko yang ada, tetapi menjanjikan keuntungan setinggi selangit. Jauh melebihi parameter bisnis maupun kinerja investasi jenis apa pun.
Money game Banyumas Mulia Abadi, misalnya, meminta nasabahnya untuk berinvestasi membeli paket investasi senilai Rp 1,5 juta dan dalam 21 hari akan mendapatkan bonus sebesar Rp 2,5 juta. Artinya, dalam waktu 21 hari imbal hasil yang dijanjikan sebesar 60 persen. Bayangkan imbal hasilnya dalam satu tahun.
Sementara ciri skema piramida dapat dilihat dari besarnya biaya investasi atau biaya pendaftaran. Selain itu, penghasilan juga didapatkan terutama dari rekrutmen dan tidak ada barang yang dijual. Artinya, jika tidak melakukan rekrutmen, berarti tidak ada pemasukan bagi si nasabah. Dalam skema piramida, semakin banyak orang yang dapat direkrut, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan keuntungan. Singkatnya, orang yang berada di puncak piramida akan mendapatkan keuntungan, sedangkan orang yang berada di bawahnya hanya akan gigit jari.
Wakil Ketua Urusan Luar Negeri APLI Koen Verheyen mengatakan, ada sebuah skema piramida dengan syarat seseorang harus merekrut 15 orang yang berada di bawahnya. Dengan skema itu, pada tingkat kelima diperlukan 759.375 orang. "Sulit sekali untuk membentuk kelompok seperti itu," ujar Koen. Menurut dia, seorang pembuat jaringan bisnis MLM paling banter dapat mengumpulkan 5.000 orang saja sebagai downline-nya.
Humas APLI Widarto Wirawan mengatakan, ternyata ada orang yang memang hobi mempertaruhkan uang pada money game ini. Pernah suatu kali ditemukan seorang ibu yang uangnya dibawa kabur perusahaan money game. Ketika dikatakan bahwa ini merupakan money game yang berbahaya, ibu itu mengakui mengetahui tentang money game dan risikonya. "Saya pernah ikut perusahaan semacam ini dan uang saya pernah hilang. Saya ikut lagi karena tidak menyangka secepat ini kaburnya," ujar si ibu enteng.
Menurut Koen, jebolnya perusahaan money game karena arus kas yang masuk lama-kelamaan lebih sedikit dibandingkan dengan arus kas keluar yang harus dibayarkan kepada para nasabah. Intinya, nasabah yang masuk terlebih dahulu masih mungkin mendapatkan uang seperti yang dijanjikan, tetapi nasabah yang masuk belakangan tidak akan kebagian karena kas perusahaan sudah terkuras.
"Ada tiga cara untuk menyiasati berkurangnya arus kas ini. Pertama, dengan mengulur waktu pembayaran, menambah orang sehingga dapat menghimpun dana segar, atau kabur dengan membawa sisa uang yang ada," ungkap Koen. Ketika perusahaan money game memilih cara terakhir, barulah nasabahnya sadar permainan apa sebenarnya yang dijalankan selama ini.
Anggota jaringan
Kebanyakan penghasilan pada skema piramida dan money game bukan berdasarkan nilai penjualan barang atau jasa yang ditawarkan, melainkan dilihat dari perekrutan orang lain sehingga terbentuk satu jaringan dengan jumlah orang tertentu. Pendapatan didapatkan dari iuran yang disetorkan oleh anggota jaringan. Sebenarnya ada beberapa tips yang dapat dijadikan panduan agar masyarakat tidak terjebak pada money game.
Yang perlu diperhatikan, apakah ada barang yang dijual atau tidak. MLM bertujuan memperpendek jalur distribusi barang, sehingga ada barang yang dijual dengan harga wajar. Sebaliknya, money game atau skema piramida tidak memiliki barang untuk dijual. "Kalaupun ada barang yang dijual, biasanya hanya kamuflase saja. Misalnya Yosihiro, sabun yang dijual adalah sabun biasa, tetapi dibungkus kertas emas dan harganya jutaan rupiah," ujar Widarto Wirawan. Selain itu, distributor MLM memperoleh pendapatan dari penjualan, bukan dari rekrutmen.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman mengatakan, perusahaan MLM harus mengantungi surat izin penjualan langsung. Ke depan, pemerintah akan berusaha menertibkan perusahaan operasional money game.
Diambil dari Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007
Setelah beberapa tahun yang lalu kita dihebohkan dengan berita menguapnya dana masyarakat yang terkumpul di Qurnia Subur Alam Raya, disusul dengan kisah yang paling baru, yaitu Wahana Bersama Globalindo. Akhir kisahnya sama, duit nasabah yang terkumpul raib, harapan untuk mendapatkan untung besar tinggal impian. Kisah ini seolah selalu berulang dengan versi yang berbeda-beda.
Rupanya, iming-iming keuntungan besar memang menjadi salah satu penarik khalayak ramai untuk turut serta dalam permainan uang ini. Tidak hanya pensiunan, karyawan, artis, pejabat, bahkan orang di kalangan pasar modal juga turut dalam permainan ini. Sialnya, karena sebagian operator permainan uang ini meminta anggotanya untuk merekrut anggota baru agar bisa mendapatkan bonus atau keuntungan, para penjual langsung yang ikut kena getahnya. Pasalnya, masyarakat tidak dapat membedakan mana perusahaan yang hanya melakukan permainan uang (money game) yang menggunakan skema piramida atau perusahaan yang menjual barang secara langsung (direct distributor atau multilevel marketing/MLM).
"Kebanyakan orang tidak dapat membedakan mana yang MLM dan mana yang MTM, alias multitipu marketing,"ujar Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) Helmy Attamimi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Cara operator permainan uang (money game) dalam mengumpulkan dana dengan meminta nasabahnya menjaring orang sebanyak-banyaknya memang hampir sama dengan cara MLM menjual barangnya. Kemiripan cara inilah yang membuat masyarakat menyamaratakan bahwa MTM itu adalah MLM, atau MLM sama dengan MTM.
Janji imbal hasil tinggi
Permainan uang atau biasa disebut money game merupakan usaha penggandaan uang atau "investasi". Biasanya, perusahaan penyelenggaraan money game menjanjikan tingkat imbal hasil yang sangat tinggi dibandingkan dengan produk investasi yang ada, seperti deposito, saham, atau obligasi. Tidak seperti pemeo dalam bidang investasi, high risk high return, money game ini seakan mengecilkan resiko yang ada, tetapi menjanjikan keuntungan setinggi selangit. Jauh melebihi parameter bisnis maupun kinerja investasi jenis apa pun.
Money game Banyumas Mulia Abadi, misalnya, meminta nasabahnya untuk berinvestasi membeli paket investasi senilai Rp 1,5 juta dan dalam 21 hari akan mendapatkan bonus sebesar Rp 2,5 juta. Artinya, dalam waktu 21 hari imbal hasil yang dijanjikan sebesar 60 persen. Bayangkan imbal hasilnya dalam satu tahun.
Sementara ciri skema piramida dapat dilihat dari besarnya biaya investasi atau biaya pendaftaran. Selain itu, penghasilan juga didapatkan terutama dari rekrutmen dan tidak ada barang yang dijual. Artinya, jika tidak melakukan rekrutmen, berarti tidak ada pemasukan bagi si nasabah. Dalam skema piramida, semakin banyak orang yang dapat direkrut, maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan keuntungan. Singkatnya, orang yang berada di puncak piramida akan mendapatkan keuntungan, sedangkan orang yang berada di bawahnya hanya akan gigit jari.
Wakil Ketua Urusan Luar Negeri APLI Koen Verheyen mengatakan, ada sebuah skema piramida dengan syarat seseorang harus merekrut 15 orang yang berada di bawahnya. Dengan skema itu, pada tingkat kelima diperlukan 759.375 orang. "Sulit sekali untuk membentuk kelompok seperti itu," ujar Koen. Menurut dia, seorang pembuat jaringan bisnis MLM paling banter dapat mengumpulkan 5.000 orang saja sebagai downline-nya.
Humas APLI Widarto Wirawan mengatakan, ternyata ada orang yang memang hobi mempertaruhkan uang pada money game ini. Pernah suatu kali ditemukan seorang ibu yang uangnya dibawa kabur perusahaan money game. Ketika dikatakan bahwa ini merupakan money game yang berbahaya, ibu itu mengakui mengetahui tentang money game dan risikonya. "Saya pernah ikut perusahaan semacam ini dan uang saya pernah hilang. Saya ikut lagi karena tidak menyangka secepat ini kaburnya," ujar si ibu enteng.
Menurut Koen, jebolnya perusahaan money game karena arus kas yang masuk lama-kelamaan lebih sedikit dibandingkan dengan arus kas keluar yang harus dibayarkan kepada para nasabah. Intinya, nasabah yang masuk terlebih dahulu masih mungkin mendapatkan uang seperti yang dijanjikan, tetapi nasabah yang masuk belakangan tidak akan kebagian karena kas perusahaan sudah terkuras.
"Ada tiga cara untuk menyiasati berkurangnya arus kas ini. Pertama, dengan mengulur waktu pembayaran, menambah orang sehingga dapat menghimpun dana segar, atau kabur dengan membawa sisa uang yang ada," ungkap Koen. Ketika perusahaan money game memilih cara terakhir, barulah nasabahnya sadar permainan apa sebenarnya yang dijalankan selama ini.
Anggota jaringan
Kebanyakan penghasilan pada skema piramida dan money game bukan berdasarkan nilai penjualan barang atau jasa yang ditawarkan, melainkan dilihat dari perekrutan orang lain sehingga terbentuk satu jaringan dengan jumlah orang tertentu. Pendapatan didapatkan dari iuran yang disetorkan oleh anggota jaringan. Sebenarnya ada beberapa tips yang dapat dijadikan panduan agar masyarakat tidak terjebak pada money game.
Yang perlu diperhatikan, apakah ada barang yang dijual atau tidak. MLM bertujuan memperpendek jalur distribusi barang, sehingga ada barang yang dijual dengan harga wajar. Sebaliknya, money game atau skema piramida tidak memiliki barang untuk dijual. "Kalaupun ada barang yang dijual, biasanya hanya kamuflase saja. Misalnya Yosihiro, sabun yang dijual adalah sabun biasa, tetapi dibungkus kertas emas dan harganya jutaan rupiah," ujar Widarto Wirawan. Selain itu, distributor MLM memperoleh pendapatan dari penjualan, bukan dari rekrutmen.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman mengatakan, perusahaan MLM harus mengantungi surat izin penjualan langsung. Ke depan, pemerintah akan berusaha menertibkan perusahaan operasional money game.
Jumat, 29 Juni 2007
Evaluasi Bisnis Anne Ahira
Ditulis oleh Amalia Maulana
Diambil dari www.amaliamaulana.com
Jika ada di antara Anda yang belum kenal Anne Ahira, mungkin Anda baru cuti panjang, berkelana di daerah yang tidak punya sambungan Internet. Atau, Anda sudah lama berhenti membaca berita di media-media papan atas. Pemberitaan bisnis Anne Ahira dan Elite Team terlalu gegap gempita untuk bisa dilewatkan begitu saja.
Sebagai salah seorang akademisi yang ingin mengikis pandangan bahwa masih belum waktunya perusahaan di Indonesia menggunakan Internet sebagai media komunikasi bagi brand, kehadiran bisnis Internet Anne Ahira pada awalnya saya anggap sebagai berkah. Dengan makin banyak orang tertarik berbisnis melalui Internet, akan semakin cepat penetrasi Internet di negara kita. Tetapi, kerisauan saya mulai timbul sejak membaca keluhan dan komentar-komentar bernada keras yang ada di milis-milis dan blog.
Apa sebenarnya Internet Marketing? Carolyn Siegel (2004) mendefinisikannya sebagai berikut: “Internet marketing or e-marketing is marketing in electronic environments primarily on the Internet, on one or more of its services (www, email), or offline by enterprises that produce and sell Internet-related products”. Apakah bisnis Anne Ahira bisa dikategorikan sebagai Internet Marketing? Tentu saja bisa. Tetapi, tepatkah bisnis yang hanya merupakan salah satu format Internet Marketing ini diberi label yang demikian luas maknanya? Bisnis Anne Ahira adalah Internet Marketing, tetapi Internet Marketing belum tentu selalu sama dengan bisnis Anne Ahira.
Salah seorang kawan dalam sindirannya mengatakan, apapun namanya, tetap saja dia salut dengan kesuksesan Anne Ahira, dan tidak perlulah saya persoalkan label bisnisnya. Memang yang saya tampilkan dalam awal bahasan ini tampaknya sederhana, yaitu tepat tidaknya bisnis ini dipopulerkan dengan nama Internet Marketing. Tetapi, di balik sebuah label, ada landasan konseptual yang jelas dan transparan tentang sebuah sistem bisnis. Landasan ini yang ingin saya gunakan untuk mengajak mengupas dan sekaligus menyimpulkan apakah keberatan-keberatan yang disampaikan pihak yang kontra cukup punya substansi atau tidak.
Promosi secara gencar dengan memakai label Internet marketing atau bisnis Internet meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya Internet. Ini sisi bagusnya. Tetapi, setelah muncul publikasi yang menyudutkan Anne Ahira, secara tidak langsung ini berarti menyerang Internet marketing secara luas. Ini kabar buruknya untuk dunia Internet di Indonesia. Dan saya sayangkan bila hal ini dibiarkan berkepanjangan.
Masyarakat yang kita hadapi terdiri dari berbagai lapisan, dari yang sangat mengerti dan mahir, yang sedang-sedang saja, yang kurang mahir, hingga yang awam atau buta sama sekali pada hal-hal yang berkaitan dengan Internet. Kelompok yang saya sebutkan terakhir ini yang paling besar jumlahnya. Tanpa penjelasan yang lebih kongkrit tentang tipe bisnis yang dipromosikan, kelompok ini tidak punya cukup pengetahuan untuk justifikasi untung rugi pilihannya untuk ikut dalam bisnis melalui media Internet. Keputusan diambil hanya berdasarkan kepercayaan saja akan benefit yang dipromosikan.
Siapapun, tidak hanya Anne Ahira, harus bisa menjelaskan tipe bisnisnya dengan baik, agar setiap segmen masyarakat yang menjadi targetnya, bisa mempertimbangkan dengan kepala dingin, peluang apa yang akan didapat bila bergabung dalam bisnis tertentu, dan resiko atau kerugian apa yang akan dihadapi. Evaluasi yang seksama hanya bisa dilakukan apabila tidak ada kerancuan tentang istilah.
Salah satu kerabat yang tinggal di Bali, beberapa waktu yang lalu, bertanya, meminta pandangan saya tentang rencananya berinvestasi dalam jaringan Anne Ahira setelah membaca promosinya. Untuk menjelaskan kepada seorang ibu berusia 60 tahun yang belum pernah memakai Internet sama sekali, pendekatan yang saya gunakan adalah menggali terlebih dahulu pengetahuannya tentang bisnis multi-level marketing (MLM) yang popular, seperti Amway, Avon dan lain-lain. Saya jelaskan bahwa konsep bisnis Ahira sama dengan bisnis MLM lainnya, yaitu menggunakan jaringan. Perbedaannya, bila operasional Amway dan sejenisnya menggunakan metoda langsung atau tatap muka, bisnis Ahira dioperasikan melalui media Internet. Dengan penjelasan ini, kerabat saya cepat tanggap dan mengerti, karena MLM bukan bisnis baru di Indonesia. Peluang dan resiko bisnisnya cukup jelas tergambar olehnya.
Mengapa tidak memberikan label Internet MLM saja pada bisnis Anda, Ahira? Menurut saya, istilah ini lebih tepat dan mudah dimengerti oleh sebagian besar masyarakat. Selain Internet MLM, bisa juga diberikan istilah e-MLM atau online MLM. Jika kita amati, memang ada tiga cara pemberian nama kegiatan yang berhubungan dengan media Internet.
1. Dengan memberi kata depan “e“, contohnya e-commerce, e-business, e-advertising, e-book, e-channel, dll. Ini untuk menjelaskan bahwa kegiatan dilakukan secara elektronik.
2. Mengawali nama kegiatan dengan kata “online”, untuk menjelaskan bahwa kegiatan dilakukan secara online, misalnya online advertising, online shopping, online research, online community, dll.
3. Mengawali nama kegiatan dengan kata Internet, antara lain Internet advertising, Internet communication, Internet transaction, dll. Ini untuk menjelaskan tipe media yang digunakan, yaitu Internet.
Dengan kejelasan bahwa bisnis Ahira merupakan Internet MLM (atau sebut saja online MLM atau e-MLM), sekarang kita bisa bersama-sama mengevaluasi bisnis ini berdasarkan kerangka pemikian sebuah bisnis MLM yang baik.
Multi-level marketing, dikenal juga dengan nama network marketing, adalah kegiatan mendistribusi, menjual atau mensuplai produk/jasa melalui individu yang ditunjuk sebagai agen atau distributor. Agen ini dibayar dalam bentuk komisi, diskon, bonus dan reward lainnya, berdasarkan jumlah penjualannya, dan kemampuannya merekrut agen. Perekrut dikenal dengan nama upline, sedangkan yang direkrut disebut dengan nama downline. Dalam sistem MLM, upline juga mendapatkan reward dari besarnya penjualan downline yang berada di bawahnya langsung, dan penjualan downline tidak langsung (yang levelnya berada dua tingkat di bawahnya atau lebih).
Perusahaan yang secara internasional sukses dengan sistem MLM antara lain Amway, Avon, Mary Kay, NuSkin, dan lain-lain. Menurut Daryl Koehn (2001), karena MLM ini dioperasikan oleh begitu banyak individu, perusahaan tipe ini sangat mudah terjerumus pada praktek-praktek yang dianggap tidak etis dan ilegal. Di Amerika, pengadilan sudah sangat terbiasa dengan masalah pengaduan bisnis MLM. Mereka bahkan mempunyai semacam test yang bisa digunakan untuk membuktikan legitimasi sebuah bisnis MLM. Ada empat poin utama yang harus dipenuhi oleh bisnis MLM:
1. Perusahaan harus memonitor kinerja para agen independen agar yakin bahwa mereka menjual produk/jasanya.
2. Mempunyai kebijaksanaan “buy-back” apabila ternyata agen terbebani dengan stock yang berlebihan.
3. Biaya awal bergabung dengan perusahaan tidak boleh terlalu tinggi
4. Pembelian materi training harus secara sukarela, tidak ada paksaan.
Keempat poin di atas yang ingin saya gunakan untuk membahas kontra terhadap bisnis Anne Ahira. Walaupun ada banyak keberatan yang diungkapkan di milis dan blog, akan saya titikberatkan pada tiga masalah inti saja, yaitu:
(1) bahwa tidak ada produk atau jasa yang dijual,
(2) bahwa bisnis ini disinyalir menggunakan skema piramida yang hanya menguntungkan segelintir orang,
(3) bahwa bisnis ini melakukan praktek spamming yang dilarang dalam dunia Internet.
Dalam regulasi poin 1 dan 2 tergambar jelas bahwa di dalam bisnis MLM, harus ada produk atau jasa yang dijual. Salah satu ciri bisnis yang tidak legitimate, menurut Koehn, adalah apabila ada tendensi kearah recruitment-centered. Bisnis MLM yang baik haruslah product-centered.
Menurut Wisnu Wardhana, professional yang sempat bekerja beberapa tahun di bisnis MLM, cara untuk menguji legitimasi bisnis tipe ini sebenarnya mudah. Selain harus ada produk/jasa yang disampaikan dari penjual ke pembeli, juga perlu diselidiki, apakah ada benefit yang bisa dirasakan oleh konsumen terakhir yang berada di lapisan paling bawah MLM ini? Dan apakah benefitnya memadai dibandingkan dengan uang yang harus dibayarkannya? Jika jawaban untuk kedua pertanyaan ini adalah tidak, maka legitimasi bisnis perlu diragukan.
Kenyataannya, saat ini masih banyak yang bingung tentang jenis produk atau jasa yang ditawarkan oleh Ahira, disamping keanggotaan tentunya. Beberapa bantahan dari team Elite yang saya baca, menyebutkan bisnis ini mempunyai produk, yaitu berupa e-book yang berisikan artikel dan informasi penting, sebagai contoh “The Art of Achieving Financial Freedom”, “Perangkat Manajemen Uang (money tools)”, “Perangkat Manajemen Waktu (time tools)”, “Lifestyle Management System”, konsultasi kesehatan melalui eDoc, dan lain-lain.
Jika memang benar e-book yang dijual, saya usulkan agar keterangan tentang produk ini dijelaskan secara terperinci, bahkan jika perlu, berikan akses beberapa contoh artikelnya. Bisa diikuti cara promosi Library database yang terkenal, yang untuk memperkenalkan produk elektroniknya, memberikan akses gratis pada masa percobaan.
Hanya, yang perlu disikapi adalah, sejauh mana artikel-artikel dalam e-book bisnis Anne Ahira memuat materi training? Sebagian besarkah? Atau sebagian kecil saja? Karena, jika kita mengacu pada regulasi poin no. 4 diatas, materi training tidak bisa disamakan dengan produk atau jasa inti pada bisnis MLM. Prospek harus diberi benefit lain yang substansial nilainya disamping materi training, sebagai exchange dari uang yang dibayarkan; karena menurut regulasi, tidak ada keharusan bagi anggota untuk membeli materi training.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah bisnis Anne Ahira menganut skema piramida? Direct Selling Association (DSA) menjelaskan bahwa skema piramida adalah sebuah scam yang ilegal, orang dalam jumlah banyak di lapisan paling bawah piramida membayarkan uang untuk sejumlah kecil yang berada di lapisan atas. Skema piramida atau endless-chain distributor mengajak prospek untuk menjadi investor, dan sebagai imbalannya, diberikan lisensi untuk merekrut prospek lain, yang kemudian, diharapkan akan merekrut prospek lain lagi (Koehn, 2001). Setiap anggota baru membayar kesempatan untuk meningkat ke level atas dan memperoleh keuntungan dari uang yang dibayarkan oleh anggota yang akan direkrutnya. Permasalahannya, menurut DSA, sebelum semua orang mendapatkan jumlah uang yang sama, piramida sudah terlanjur collapse.
Menurut Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), sistem piramida ini telah banyak dilakukan di negara-negara lain, dan sekarang sudah diawasi secara ketat oleh pemerintah setempat karena dianggap merugikan masyarakat luas. APLI dalam websitenya juga mengajak masyarakat untuk berhati-hati dengan bisnis skema piramida, karena di Indonesia pun saat ini telah berkembang penjualan gaya tersebut.
Pemahaman saya tentang jaringan dalam sistem bisnis Anne Ahira dan Elite team, hanya dibatasi sampai empat level saja. Beberapa bisnis MLM tradisional (offline) juga membatasi jaringannya sampai beberapa level, setelah itu jaringan diputus dan tidak ada lagi koneksi antara upline tertentu dengan downline dibawahnya. Jika benar jaringan hanya sampai empat level, maka bisnis Ahira bukanlah skema piramida endless-chain. Berarti bisnis ini lumrah saja, seperti bisnis MLM lainnya.
Biaya untuk bergabung dengan bisnis MLM tidak boleh terlalu tinggi (poin 3 pada regulasi). Mahalkah $55 biaya untuk bergabung dengan Anne Ahira? Jawabannya relatif, karena mahal murah itu subyektif. Pada bisnis MLM lainnya, biaya awal rekrut dikaitkan dengan pembelian awal produk yang umum disebut dengan starter kit (satu perangkat produk untuk digunakan pada masa percobaan berjualan). Lebih jauh diuraikan dalam regulasi bahwa perusahaan harus siap dengan pengembalian starter kit dari anggota barunya, apabila ternyata setelah dicoba, ia merasa tidak sanggup melanjutkan bisnis ini. Ini yang sulit untuk diimplementasikan dalam bisnis MLM ala Anne Ahira, jika memang benar sebagian besar produknya merupakan materi training.
Keberatan terakhir adalah masalah spamming, yaitu pengiriman email berisi promosi tanpa persetujuan pemilik email. Alamat email biasanya diperoleh dengan cara harvesting atau menyalin alamat email dari milis atau publikasi lainnya, baik secara manual atau dengan bantuan program tertentu. Spamming adalah masalah terbesar dalam dunia Internet marketing. Di negara maju, sudah banyak regulasi yang mengatur spamming, dan ada hukum yang jelas berlaku, melarang pengiriman email tanpa persetujuan terlebih dahulu. Dari yang saya baca dalam artikel dan website Anne Ahira, larangan untuk spamming cukup jelas, bahkan digambarkan sanksi kerasnya, keluar dari keanggotaan. Tetapi dari keluhan yang muncul, pasti terjadi praktek spamming di lapangan. Ini pekerjaan rumah tersendiri untuk Ahira, bila tidak ingin bisnisnya dikecam. Bagaimana caranya mengontrol sepak terjang anggotanya.
Tulisan ini akan saya tutup dengan beberapa saran untuk Anne Ahira dan juga para pebisnis lain yang menjalankan bisnis serupa. Yang pertama, ubah istilah bisnis Internet atau Internet Marketing menjadi Internet MLM, online MLM atau e-MLM, agar para prospek bisnis punya gambaran yang lebih kongkrit tentang tipe bisnis Anda. Kedua, jika belum, daftarkan www.eliteteammarketing.com pada Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), sebagai jaminan legitimasi bisnis Anda. Saran ketiga, jelaskan dengan uraian yang sangat rinci, produk/jasa apa yang Anda jual disamping keanggotaan atau rekrutmen. Keempat, klarifikasi bahwa bisnis Anda bukan menggunakan skema piramida (jika benar hanya 4 level saja). Kelima, pertimbangkan kembali besarnya biaya bergabung menjadi anggota. Keenam, umumkan ke publik, nama-nama anggota Anda yang melakukan spamming dan sudah di-black list, agar tampak keseriusan Anda dalam menangani masalah ini. Saran terakhir, dan ini paling penting, buatlah advertorial di media, menjelaskan posisi bisnis Anda.
Oke Ahira, salam perjuangan dari saya di Sydney untuk Anda di Bandung.
Diambil dari www.amaliamaulana.com
Jika ada di antara Anda yang belum kenal Anne Ahira, mungkin Anda baru cuti panjang, berkelana di daerah yang tidak punya sambungan Internet. Atau, Anda sudah lama berhenti membaca berita di media-media papan atas. Pemberitaan bisnis Anne Ahira dan Elite Team terlalu gegap gempita untuk bisa dilewatkan begitu saja.
Sebagai salah seorang akademisi yang ingin mengikis pandangan bahwa masih belum waktunya perusahaan di Indonesia menggunakan Internet sebagai media komunikasi bagi brand, kehadiran bisnis Internet Anne Ahira pada awalnya saya anggap sebagai berkah. Dengan makin banyak orang tertarik berbisnis melalui Internet, akan semakin cepat penetrasi Internet di negara kita. Tetapi, kerisauan saya mulai timbul sejak membaca keluhan dan komentar-komentar bernada keras yang ada di milis-milis dan blog.
Apa sebenarnya Internet Marketing? Carolyn Siegel (2004) mendefinisikannya sebagai berikut: “Internet marketing or e-marketing is marketing in electronic environments primarily on the Internet, on one or more of its services (www, email), or offline by enterprises that produce and sell Internet-related products”. Apakah bisnis Anne Ahira bisa dikategorikan sebagai Internet Marketing? Tentu saja bisa. Tetapi, tepatkah bisnis yang hanya merupakan salah satu format Internet Marketing ini diberi label yang demikian luas maknanya? Bisnis Anne Ahira adalah Internet Marketing, tetapi Internet Marketing belum tentu selalu sama dengan bisnis Anne Ahira.
Salah seorang kawan dalam sindirannya mengatakan, apapun namanya, tetap saja dia salut dengan kesuksesan Anne Ahira, dan tidak perlulah saya persoalkan label bisnisnya. Memang yang saya tampilkan dalam awal bahasan ini tampaknya sederhana, yaitu tepat tidaknya bisnis ini dipopulerkan dengan nama Internet Marketing. Tetapi, di balik sebuah label, ada landasan konseptual yang jelas dan transparan tentang sebuah sistem bisnis. Landasan ini yang ingin saya gunakan untuk mengajak mengupas dan sekaligus menyimpulkan apakah keberatan-keberatan yang disampaikan pihak yang kontra cukup punya substansi atau tidak.
Promosi secara gencar dengan memakai label Internet marketing atau bisnis Internet meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya Internet. Ini sisi bagusnya. Tetapi, setelah muncul publikasi yang menyudutkan Anne Ahira, secara tidak langsung ini berarti menyerang Internet marketing secara luas. Ini kabar buruknya untuk dunia Internet di Indonesia. Dan saya sayangkan bila hal ini dibiarkan berkepanjangan.
Masyarakat yang kita hadapi terdiri dari berbagai lapisan, dari yang sangat mengerti dan mahir, yang sedang-sedang saja, yang kurang mahir, hingga yang awam atau buta sama sekali pada hal-hal yang berkaitan dengan Internet. Kelompok yang saya sebutkan terakhir ini yang paling besar jumlahnya. Tanpa penjelasan yang lebih kongkrit tentang tipe bisnis yang dipromosikan, kelompok ini tidak punya cukup pengetahuan untuk justifikasi untung rugi pilihannya untuk ikut dalam bisnis melalui media Internet. Keputusan diambil hanya berdasarkan kepercayaan saja akan benefit yang dipromosikan.
Siapapun, tidak hanya Anne Ahira, harus bisa menjelaskan tipe bisnisnya dengan baik, agar setiap segmen masyarakat yang menjadi targetnya, bisa mempertimbangkan dengan kepala dingin, peluang apa yang akan didapat bila bergabung dalam bisnis tertentu, dan resiko atau kerugian apa yang akan dihadapi. Evaluasi yang seksama hanya bisa dilakukan apabila tidak ada kerancuan tentang istilah.
Salah satu kerabat yang tinggal di Bali, beberapa waktu yang lalu, bertanya, meminta pandangan saya tentang rencananya berinvestasi dalam jaringan Anne Ahira setelah membaca promosinya. Untuk menjelaskan kepada seorang ibu berusia 60 tahun yang belum pernah memakai Internet sama sekali, pendekatan yang saya gunakan adalah menggali terlebih dahulu pengetahuannya tentang bisnis multi-level marketing (MLM) yang popular, seperti Amway, Avon dan lain-lain. Saya jelaskan bahwa konsep bisnis Ahira sama dengan bisnis MLM lainnya, yaitu menggunakan jaringan. Perbedaannya, bila operasional Amway dan sejenisnya menggunakan metoda langsung atau tatap muka, bisnis Ahira dioperasikan melalui media Internet. Dengan penjelasan ini, kerabat saya cepat tanggap dan mengerti, karena MLM bukan bisnis baru di Indonesia. Peluang dan resiko bisnisnya cukup jelas tergambar olehnya.
Mengapa tidak memberikan label Internet MLM saja pada bisnis Anda, Ahira? Menurut saya, istilah ini lebih tepat dan mudah dimengerti oleh sebagian besar masyarakat. Selain Internet MLM, bisa juga diberikan istilah e-MLM atau online MLM. Jika kita amati, memang ada tiga cara pemberian nama kegiatan yang berhubungan dengan media Internet.
1. Dengan memberi kata depan “e“, contohnya e-commerce, e-business, e-advertising, e-book, e-channel, dll. Ini untuk menjelaskan bahwa kegiatan dilakukan secara elektronik.
2. Mengawali nama kegiatan dengan kata “online”, untuk menjelaskan bahwa kegiatan dilakukan secara online, misalnya online advertising, online shopping, online research, online community, dll.
3. Mengawali nama kegiatan dengan kata Internet, antara lain Internet advertising, Internet communication, Internet transaction, dll. Ini untuk menjelaskan tipe media yang digunakan, yaitu Internet.
Dengan kejelasan bahwa bisnis Ahira merupakan Internet MLM (atau sebut saja online MLM atau e-MLM), sekarang kita bisa bersama-sama mengevaluasi bisnis ini berdasarkan kerangka pemikian sebuah bisnis MLM yang baik.
Multi-level marketing, dikenal juga dengan nama network marketing, adalah kegiatan mendistribusi, menjual atau mensuplai produk/jasa melalui individu yang ditunjuk sebagai agen atau distributor. Agen ini dibayar dalam bentuk komisi, diskon, bonus dan reward lainnya, berdasarkan jumlah penjualannya, dan kemampuannya merekrut agen. Perekrut dikenal dengan nama upline, sedangkan yang direkrut disebut dengan nama downline. Dalam sistem MLM, upline juga mendapatkan reward dari besarnya penjualan downline yang berada di bawahnya langsung, dan penjualan downline tidak langsung (yang levelnya berada dua tingkat di bawahnya atau lebih).
Perusahaan yang secara internasional sukses dengan sistem MLM antara lain Amway, Avon, Mary Kay, NuSkin, dan lain-lain. Menurut Daryl Koehn (2001), karena MLM ini dioperasikan oleh begitu banyak individu, perusahaan tipe ini sangat mudah terjerumus pada praktek-praktek yang dianggap tidak etis dan ilegal. Di Amerika, pengadilan sudah sangat terbiasa dengan masalah pengaduan bisnis MLM. Mereka bahkan mempunyai semacam test yang bisa digunakan untuk membuktikan legitimasi sebuah bisnis MLM. Ada empat poin utama yang harus dipenuhi oleh bisnis MLM:
1. Perusahaan harus memonitor kinerja para agen independen agar yakin bahwa mereka menjual produk/jasanya.
2. Mempunyai kebijaksanaan “buy-back” apabila ternyata agen terbebani dengan stock yang berlebihan.
3. Biaya awal bergabung dengan perusahaan tidak boleh terlalu tinggi
4. Pembelian materi training harus secara sukarela, tidak ada paksaan.
Keempat poin di atas yang ingin saya gunakan untuk membahas kontra terhadap bisnis Anne Ahira. Walaupun ada banyak keberatan yang diungkapkan di milis dan blog, akan saya titikberatkan pada tiga masalah inti saja, yaitu:
(1) bahwa tidak ada produk atau jasa yang dijual,
(2) bahwa bisnis ini disinyalir menggunakan skema piramida yang hanya menguntungkan segelintir orang,
(3) bahwa bisnis ini melakukan praktek spamming yang dilarang dalam dunia Internet.
Dalam regulasi poin 1 dan 2 tergambar jelas bahwa di dalam bisnis MLM, harus ada produk atau jasa yang dijual. Salah satu ciri bisnis yang tidak legitimate, menurut Koehn, adalah apabila ada tendensi kearah recruitment-centered. Bisnis MLM yang baik haruslah product-centered.
Menurut Wisnu Wardhana, professional yang sempat bekerja beberapa tahun di bisnis MLM, cara untuk menguji legitimasi bisnis tipe ini sebenarnya mudah. Selain harus ada produk/jasa yang disampaikan dari penjual ke pembeli, juga perlu diselidiki, apakah ada benefit yang bisa dirasakan oleh konsumen terakhir yang berada di lapisan paling bawah MLM ini? Dan apakah benefitnya memadai dibandingkan dengan uang yang harus dibayarkannya? Jika jawaban untuk kedua pertanyaan ini adalah tidak, maka legitimasi bisnis perlu diragukan.
Kenyataannya, saat ini masih banyak yang bingung tentang jenis produk atau jasa yang ditawarkan oleh Ahira, disamping keanggotaan tentunya. Beberapa bantahan dari team Elite yang saya baca, menyebutkan bisnis ini mempunyai produk, yaitu berupa e-book yang berisikan artikel dan informasi penting, sebagai contoh “The Art of Achieving Financial Freedom”, “Perangkat Manajemen Uang (money tools)”, “Perangkat Manajemen Waktu (time tools)”, “Lifestyle Management System”, konsultasi kesehatan melalui eDoc, dan lain-lain.
Jika memang benar e-book yang dijual, saya usulkan agar keterangan tentang produk ini dijelaskan secara terperinci, bahkan jika perlu, berikan akses beberapa contoh artikelnya. Bisa diikuti cara promosi Library database yang terkenal, yang untuk memperkenalkan produk elektroniknya, memberikan akses gratis pada masa percobaan.
Hanya, yang perlu disikapi adalah, sejauh mana artikel-artikel dalam e-book bisnis Anne Ahira memuat materi training? Sebagian besarkah? Atau sebagian kecil saja? Karena, jika kita mengacu pada regulasi poin no. 4 diatas, materi training tidak bisa disamakan dengan produk atau jasa inti pada bisnis MLM. Prospek harus diberi benefit lain yang substansial nilainya disamping materi training, sebagai exchange dari uang yang dibayarkan; karena menurut regulasi, tidak ada keharusan bagi anggota untuk membeli materi training.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah bisnis Anne Ahira menganut skema piramida? Direct Selling Association (DSA) menjelaskan bahwa skema piramida adalah sebuah scam yang ilegal, orang dalam jumlah banyak di lapisan paling bawah piramida membayarkan uang untuk sejumlah kecil yang berada di lapisan atas. Skema piramida atau endless-chain distributor mengajak prospek untuk menjadi investor, dan sebagai imbalannya, diberikan lisensi untuk merekrut prospek lain, yang kemudian, diharapkan akan merekrut prospek lain lagi (Koehn, 2001). Setiap anggota baru membayar kesempatan untuk meningkat ke level atas dan memperoleh keuntungan dari uang yang dibayarkan oleh anggota yang akan direkrutnya. Permasalahannya, menurut DSA, sebelum semua orang mendapatkan jumlah uang yang sama, piramida sudah terlanjur collapse.
Menurut Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), sistem piramida ini telah banyak dilakukan di negara-negara lain, dan sekarang sudah diawasi secara ketat oleh pemerintah setempat karena dianggap merugikan masyarakat luas. APLI dalam websitenya juga mengajak masyarakat untuk berhati-hati dengan bisnis skema piramida, karena di Indonesia pun saat ini telah berkembang penjualan gaya tersebut.
Pemahaman saya tentang jaringan dalam sistem bisnis Anne Ahira dan Elite team, hanya dibatasi sampai empat level saja. Beberapa bisnis MLM tradisional (offline) juga membatasi jaringannya sampai beberapa level, setelah itu jaringan diputus dan tidak ada lagi koneksi antara upline tertentu dengan downline dibawahnya. Jika benar jaringan hanya sampai empat level, maka bisnis Ahira bukanlah skema piramida endless-chain. Berarti bisnis ini lumrah saja, seperti bisnis MLM lainnya.
Biaya untuk bergabung dengan bisnis MLM tidak boleh terlalu tinggi (poin 3 pada regulasi). Mahalkah $55 biaya untuk bergabung dengan Anne Ahira? Jawabannya relatif, karena mahal murah itu subyektif. Pada bisnis MLM lainnya, biaya awal rekrut dikaitkan dengan pembelian awal produk yang umum disebut dengan starter kit (satu perangkat produk untuk digunakan pada masa percobaan berjualan). Lebih jauh diuraikan dalam regulasi bahwa perusahaan harus siap dengan pengembalian starter kit dari anggota barunya, apabila ternyata setelah dicoba, ia merasa tidak sanggup melanjutkan bisnis ini. Ini yang sulit untuk diimplementasikan dalam bisnis MLM ala Anne Ahira, jika memang benar sebagian besar produknya merupakan materi training.
Keberatan terakhir adalah masalah spamming, yaitu pengiriman email berisi promosi tanpa persetujuan pemilik email. Alamat email biasanya diperoleh dengan cara harvesting atau menyalin alamat email dari milis atau publikasi lainnya, baik secara manual atau dengan bantuan program tertentu. Spamming adalah masalah terbesar dalam dunia Internet marketing. Di negara maju, sudah banyak regulasi yang mengatur spamming, dan ada hukum yang jelas berlaku, melarang pengiriman email tanpa persetujuan terlebih dahulu. Dari yang saya baca dalam artikel dan website Anne Ahira, larangan untuk spamming cukup jelas, bahkan digambarkan sanksi kerasnya, keluar dari keanggotaan. Tetapi dari keluhan yang muncul, pasti terjadi praktek spamming di lapangan. Ini pekerjaan rumah tersendiri untuk Ahira, bila tidak ingin bisnisnya dikecam. Bagaimana caranya mengontrol sepak terjang anggotanya.
Tulisan ini akan saya tutup dengan beberapa saran untuk Anne Ahira dan juga para pebisnis lain yang menjalankan bisnis serupa. Yang pertama, ubah istilah bisnis Internet atau Internet Marketing menjadi Internet MLM, online MLM atau e-MLM, agar para prospek bisnis punya gambaran yang lebih kongkrit tentang tipe bisnis Anda. Kedua, jika belum, daftarkan www.eliteteammarketing.com pada Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), sebagai jaminan legitimasi bisnis Anda. Saran ketiga, jelaskan dengan uraian yang sangat rinci, produk/jasa apa yang Anda jual disamping keanggotaan atau rekrutmen. Keempat, klarifikasi bahwa bisnis Anda bukan menggunakan skema piramida (jika benar hanya 4 level saja). Kelima, pertimbangkan kembali besarnya biaya bergabung menjadi anggota. Keenam, umumkan ke publik, nama-nama anggota Anda yang melakukan spamming dan sudah di-black list, agar tampak keseriusan Anda dalam menangani masalah ini. Saran terakhir, dan ini paling penting, buatlah advertorial di media, menjelaskan posisi bisnis Anda.
Oke Ahira, salam perjuangan dari saya di Sydney untuk Anda di Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)